Simposium Sastra Pesantren Hasilkan 9 Rumusan, Dobrak Kejumudan Wacana Sastra Mutakhir

Kegiatan Simposium Sastra Pesantren di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang/Ist
Kegiatan Simposium Sastra Pesantren di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang/Ist

Simposium Sastra Pesantren yang digelar selama 2 hari, Sabtu-Minggu (3-4/12) di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang menghasilkan 9 rumusan. Semua peserta optimis menyambut hasil rumusan Simposium Sastra Pesantren ini di tengah kejumudan wacana sastra mutakhir. 


Rumusan hasil Simposium Sastra Pesantren ini dibacakan secara bergantian oleh Mashuri, Prof Joko Saryono, Dr Akhmad Taufiq, dan Badrus Sholeh.

"Tentu ini menjadi penanda kultural yang baik, sekaligus memberikan ruang baru dinamika sastra, khususnya sastra pesantren di tanah air," ujar Dr Akhmad Taufiq, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Senin (5/12).

Dosen Universitas Jember bersyukur Simposium Sastra Pesantren dengan tema “Merumuskan Ulang Sastra Pesantren” sudah terlaksana dengan baik.\

Dia menjelaskan maksud dan tujuan dari simposium tersebut merumuskan ulang gagasan sastra pesantren yang pernah ada dalam tradisi lama dan lestari hingga kini, mengungkap perubahan-perubahan dalam sastra pesantren sesuai dengan semangat zaman.

Selain itu juga bertujuan menyemarakkandiskursus sastra di kalangan masyarakat serta mendorong terciptanya iklim kreatif yang dinamis dan inovatif.

Acara itu dihadiri oleh 12 narasumber berkompeten dan 30 peserta aktif, mulai dari kalangan pondok pesantren, perguruan tinggi, sastrawan, hingga komunitas sastra.

"Mereka membicarakan empat topik sebagai berikut. (1) Difinisi, Batasan, dan Kandungan Sastra Pesantren (2) Filsafat, Daya Gerak dan Kesadaran Diri Sastra Pesantren (3) Tradisi, Antropologi dan Genealogi Sastra Pesantren (4) Peran Ulama, Sejarah, dan Strategi Kebudayaan Sastra Pesantren," ujar Mantan Ketua IKA PMII Kabupaten Jember ini.

Dijelaskan Taufiq, setelah mendengar, menyimak, dan mempertimbangkan makalah-makalah yang disamapaikan para narasumber dan pendapat peserta audien yang berkembang dalam forum simposium, dapat dirumuskan 9 rambu-rambu gagasan dan pemikiran, serta gerakan sastra pesantren sebagai berikut:

(1). Sastra Pesantren lahir dari kebutuhan budaya sehingga keberadaannya selalu terikat kemanusiaan dan peradaban ugahari, yang dapat diperlakukan sebagai kode-kode multidimensional minimal empat kode, yaitu kode bahasa, kode sastra, kode budaya, dan kode spiritual. 

(2). Secara definitif dan konstitutif, sastra pesantren selalu memiliki dinamika sendiri dalam satuan ruang dan waktu, sehingga formulasi sastra pesantren tidak membeku dalam satuan zaman dan satuan ruang. Terdapat yang tetap dan berubah dalam perkembangan sastra pesantren. Sastra pesantren lama terkait dengan hal-ihwal yang terdapat di sekitar dunia pesantren. Sastra pesantren baru tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan ke masa-silaman, kekinian dan ke masa-depanan dengan adanya aksentuasi-aksentuasi baru.

Oleh karena itu, secara holistik, sastra pesantren bersumber dari tradisi sastra lisan, sastra tulis manuskrip, sastra tulis cetak, dan sastra digital.

(3). Sastra pesantren lahir dari imperatif sejarah kemanusiaan dan peradaban. Oleh karena itu, sastra pesantren hadir secara organik tumbuh dan berkembang dalam lapangan diskursif dan aksional seiring dengan perkembangan pengetahuan, relasi kekuasaan dan dinamika zaman. 

(4). Secara historis, sastra pesantren melintasi batasan-batasan literer dan kultural sehingga  sastra pesantren bercorak intergenerasional, interkultural, dan interseksional. Sebab itu eksistensi, posisi, dan status serta perkembangannya tidak dapat dikotak-kotakan dalam satuan bentuk dan fungsi.

Di sinilah corak dan ragam sastra pesantren sering hadir secara bersama-sama dan berkesinambungan dalam keserentakan waktu, walaupun berbeda ruang geografis dan geokultural.

(5). Ciri penanda distingtif sastra pesantren terletak pada lintas bahasa, ideologi, spirit, elan vital, ruh atau jiwa kepesantrenan yang menekankan tafaquh, syiar, juga ekspresi. Kesadaran diri itulah yang membuat sastra pesantren bergerak dan berkembang sehingga sastra pesantren bercorak integratif sekaligus instrumental antara yang indah, berfaedah dan kamal.

(6). Sastra pesantren mengandung dimensi dakwah, keislaman, sufistik dan bentuk spiritualisme lain yang dikerangkai oleh sosio-kultur dan religiokultur Indonesia dengan visi menuju manusia sempurna dan rahmatan lil’alamin

(7). Secara genealogis, sastra pesantren berakar dari tradisi manapun yang mengusung rahmatan lil ‘alamin dan kemanusiaan, misalnya Jawa, Melayu, Parsi, dan Arab. Oleh karena itu, sastra pesantren sudah eksis sejak awal kehadiran Islam di Indonesia. Jejaring itulah yang membentuk sastra pesantren dengan mengelaborasi beberapa bentuk dan penciptaan yang pernah berkembang lebih dulu. 

(8). Secara ringkas dan padat, sastra pesantren adalah sastra tentang hal-ihwal pesantren dan kepesantrenan, oleh sastrawan/penulis santri, dan untuk semesta.  

(9). Dalam aspek politik kebudayaan, sastra pesantren punya peluang untuk mengembangkan jejaring kultural dalam lintas-batas sastra nasional. Oleh karena itu, dalam konteks kekinian, membangun jejaring sekaligus penguatan generasi yang mampu mengembangkan sastra pesantren dalam lintas-batas sastra nasional adalah sebuah kebutuhan.