Masalah Dana Bagi Hasil (DBH) antara pusat dan daerah, terutama terkait minyak dan gas bumi (migas), kini tengah jadi perbincangan hangat. Musababnya adalah protes keras yang dilakukan Bupati Meranti, Muhammad Adil, terhadap pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), beberapa waktu lalu.
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, ikut menyoroti kasus tersebut. Menurutnya, Bupati Meranti meluapkan kekesalannya kepada anak buah Sri Mulyani itu karena kebijakan pemerintah pusat dirasa sangat tidak adil.
“Apa yang disampaikan Bupati Meranti itu terkait persoalan keadilan,” ucapnya dalam rilis yang disampaikan ke redaksi RMOLJatim.
Dikatakan Nur Hidayat, situasi yang sedang menimpa Bupati Meranti ini mungkin juga menimpa kepala daerah lainnya di Indonesia, yang wilayahnya ada pengeboran migas.
"Saya kira ini juga dirasakan oleh daerah lain (termasuk Sumenep), terutama penghasil minyak dan gas bumi (migas),” ucapnya.
Diungkapkan Nur Hidayat, soal Dana Bagi Hasil (DBH) memang sudah ditetapkan dalam UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) UU No.1 Tahun 2022. Namun berdasarkan pengamatannya, UU tersebut memang terkesan tidak adil.
“Memang dalam perhitungan UU ini terkesan tidak adil. Karena daerah yang hasil minyak dan gasnya dikeruk itu sebenarnya punya risiko lebih besar, dibandingkan daerah lain yang tidak punya minyak,” tambahnya.
Karena itu, wajar jika daerah penghasil migas ini menuntut perimbangan pembagian hasil.
"Kalau merasa tidak mendapatkan keadilan, bisa juga dia protes," katanya.
Karena pada dasarnya, apa yang disampaikan oleh kepala daerah itu merupakan keluhan masyarakat setempat.
"Dengan adanya eksploitasi dan eksplorasi Migas di daerahnya, mereka kan yang terkena imbasnya. Tapi, apakah mereka menikmati hasilnya, ini yang dipertanyakan," katanya.
Diketahui, salah satu daerah penghasil Migas yang cukup besar di Indonesia adalah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Sumenep memiliki potensi minyak dan gas yang luar biasa. Berdasarkan laporan Dirjen Migas, Kabupaten Sumenep mengandung kurang lebih 6 trilyun kaki kubik gas (TCF). Penggunaannya masih bisa dilakukan untuk kurun waktu 30 tahun kedepan.
Saat ini, di Kabupaten Sumenep ada sejumlah perusahaan hulu migas yang telah beroperasi dan berproduksi. Pemerintah Kabupaten Sumenep memberikan support penuh atas aktivitas industri hulu migas.
“Tentang feedback dari K3S diatur pemerintah pusat. Pemerintah daerah tinggal menerima DBH migas yang sudah dihitung berdasarkan regulasi yang ada,” kata Bupati Sumenep, Achmad Fauzi, saat menerima silaturahmi pejabat SKK Migas Jabarnusa dan pimpinan perusahaan hulu migas HCML, Rabu (14/12/2022) lalu.
Bupati Fauzi mengakui, industri hulu migas merupakan long term invesment atau investasi jangka panjang. Belum tentu dalam tempo 5 tahun, investasi yang ditanamkan sudah balik modal.
“Migas itu soal negara dan devisa. Sebab, karena negara yang memiliki dan berkuasa penuh atas kekayaan migas,” ucapnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Ketua GP Ansor Jawa Timur Kecam Keras Kasus KDRT di Sumenep yang Berujung Kematian
- Pemkot Surabaya Gelar Upacara Hari Kesaktian Pancasila, PJs Wali Kota Restu Berharap Masyarakat Teladani Nilai-Nilai Kemanusiaan
- Guru Bahasa Arab asal Gambiran Harumkan Nama Banyuwangi di Tingkat Nasional