Korupsi Bukan Extra Ordinary Crimes?

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

SELAMA berlakunya Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tahun 1999 disusul kemudian dengan UU KPK tahum 2002 juga di dalam Penjelasan Umum UU tahun 1999, dan UU tahun 2002 dinyatakan bahwa Korupsi merupakan kejahatan luar biass (extra ordinary crimes) dan karenanya harus ditegakkan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measures) yang tidak dimiliki oleh baik Kepolisian maupun Kejaksaan.

Hal ini tampak di dalam proses penyelidikan dan penyidikannya serta di dalam pemeriksaan sidang pengadilan, perkara korupsi merupakan perkara yang didahulukan dan dalam melaksanakan wewenang supervise Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.

Selain kekhususan proses hukum acara yang berlaku, KPK dapat melakukan tindakan penyadapan tanpa izin pengdilan, cukup melaporkan kepada Dewan Pegawas, yang dilanjutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang telah berhasil efektif ketika KPK  jilid III, akan tetapi di balik keberhasilan juga terdapat kelemahan yaitu KPK dikalahkan dalam praperadilan.

Salah satu penyebab adalah OTT tidak memerlukan membangun kasus (case building) cenderung ceroboh dan menegasikan prosedur hukum acara yang berlaku. Selain kelemaham tersebut OTT yang dilanjutkan dengan peningkatan status Tersangka telah mengalami error iuris atau eror in persona dalam memetakan siapa yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan termasuk membantu melakukan korupsi.  

Bahkan masa  KPK jild IV sebanyak 34 tersangka tidak memiliki bukti permulaan cukup. Dapat disimpulkan OTT KPK berpotensi, terjadi miscarriage of justice yang menciderai peradilan yang jujur dan adil (fair trial and justice). Pola pikir yang dibangun Perubahan UU KPK pada tahun 2019,  adalah perlindungan Hak Asasi  Manusia dengan prioritas pendekatan strategi preventif di mana pendekatan strategi represif merupakani pendekatan subsidiaritas.

Masalahnya KPK di bawah Firli cs tengah menghadapi proses transisi dari pendekatan represif kepada preventif dengan kewajiban menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sejalan dengan pola pemikiran di atas maka pola pikir zero tolerance dan pemiskinan koruptor harus ditinggalkan secara evolutif dan pada akhirnya menghilang ceterus paribus.

Perubahan pola pikir dalam pemberantasan korupsi seijalan kebijakan/politik ekonomi nasional era globalisasi telah mengubah pola pikir dalam baik pembentukan undang-undang korupsi dan penegakannya; pengaruh paham kantianisme dan utilitarianisme telah tergantikan dengan paham aliran/paham realisme hukum dan analisis paham hukum kritis (criticlal legal theory) yang diperkuat dengan analisis ekonomi tentang kejahatan (Bekcker) berlandaskan prinsip keseimbangan (equilibrium), efisiensi (efficiency) dan maksimisasi (maximization).

Ketiga prinsip tersebut telah mengubah dan menuntut  parameter sukses dari keberhasilan (output) pemberantasan korupi kepada dampak pemberantasan korupsi (outcome) yang harus dimaknai bahwa masksimalisasi (tujuan ) pemulihan kerugian keuangan negara sehingga tidak terjadi pemeo, “besar pasak dari tiang”.  Satu-satunya ketentuan UU tahun 1999 yang menghambat perubahan strategi tersebut adalah ketentuan Pasal 4 yang menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan sehingga pelaku korupsi akan memilih buron membawa hasil korupsi dan berinvestasi di negara lain daripada menyerahkan diri dan mengembalikan uang negara yang di korupsi.

Keberhasilan perjanjian ekstradisi Indonesia -Singapura baru-baru ini bukan jaminan keberhasilan perubahan tujuan pemberantasan korupsi sebagaimana terdapat pada UU No 19 tahun 2019  dan UU Nomor 20 tahun 2001 tetapi diharapkan dapat memudahkan ekstradisi buron korupsi dan asset-aset korupsi. Hal lain yang sangat mempengaruhi perubahan kebijakan pemberantasan korupsi adalah oeverkapasitas daya tampung Lembaga pemasyarakatan mencapai 200 persen di seluruh negeri sehingga jauh menyimpang dari prinsip dan tujuan pemasyarakatan bahwa negara tidak boleh membuat narapidana lebih jahat daripada sebelum masuk ke Lapas dan negara wajib menjaga/memelihara hak sosial, ekonomi dan mmencegah kemunduran dalam aspek fisik dan mental, sosial dan merendahkan harkat dan martabat penghuni Lapas.

Fakta temuan hasil peneltiian menunjukkann bahwa overkapasitas hunian LP telah menimbulkan ekses-ekses negatif kehidupan dalam Lapas yang kini tengah dilakukan perbaikan-perbaikan berarti. Fakta lain yang penting adalah overkapasitas hunian di Lapas telah menambah beban APBN Kementrian Hukum dan HAM khusus Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Mengingat dampak luar biasa dari strategi pemberantasan korupsi masa lampau dengan segala ekses negatifnya (tidak maksimal dan postiif) diperlukan solusi terbaik dalam penegakan HAM dalam pemberantasan korupsi dan kehidupan Napi di Lapas.

Berdasarkan uraian perubahann filosofi, visi dan misi strategi pemberantasan korupsi di atas tampak kemanfaatan yang maksimal dari hulu ke hilir. Adapun Pendapat yang menyatakan bahwa perubahan KUHP terkait ketentuan mengenai pemberantasan korupsi merupakan suatu kemunduran adalah keliru karena tidak dipahami perubahan filosofi dan visi serta misi perubahan yang terdapat dalam UU Nomor 20 tahun 2001 dan UU KPK Nomor 19 tahun 2019 dan tidak serta merta ketentuan perubahan KUHP yang memasukkan korupsi di dalamnya merupakan suatu kemunduran bahkan justru merupakan kemajuan yang berarti di mana pencegahan dan perlindungan Hak Asasi Tersangka/terdakwa korupsi lebih utama daripada penghukuman semata-mata yang lebih banyak mudarat daripada maslahatnya. Hal ini disebabkan desain strategi pemberantasan korupsi untuk mencapai tujuan pemulihan kerugian keuangan negara dan membuat jera pelakunya tidak berubah secara signifikan melihat ketentuan-ketentuan UUKPK yang tidak berubah dari asal muasalnya sebagaimana terdapat pada UU KPK tahun 2019.

*Penulis adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran