- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki
SEJAK peristiwa 7 Oktober 2023, pemerintah Israel dan negara-negara pendukungnya telah melancarkan kampanye gencar mendemonisasi Gerakan Perlawanan Islam Palestina, Hamas. Kampanye ini seperti mengulangi aksi serupa Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin terhadap organisasi Palestina yang agak sekular, PLO, pada tahun 1993.
Kala itu, Rabin dan sekutunya yang didukung jaringan media Zionis melancarkan kampanye demonisasi terhadap PLO. Namun, melalui mediasi Norwegia, PLO justru sukses membentuk pemerintahan sendiri di wilayah yang telah dikuasai Israel sejak 1967.
Pengaruh demonisasi dari Israel ke Hamas itu benar-benar masuk tertanam ke dalam benak sejumlah pemimpin Eropa dan AS sehingga mereka mengabaikan pelajaran sejarah. Bahwa di wilayah Selatan pada masa lalu juga marak gerakan perlawanan, seperti di Vietnam, Aljazair atau Kenya, yang bertujuan mengusir penjajah. Selagi pengaruh demonisasi masih menancap kuat di kepala beberapa pemimpin itu, kondisi warga Palestina sangat menderita di bawah pemerintahan kolonial Israel yang mempraktekkan cara-cara militer.
Sejarah perlawanan terhadap kekuatan kolonial telah menunjukkan, bahwa negara kolonial selalu memberi julukan seram pada organisasi perlawanan. Misalnya, pasukan AS di Vietnam memberi julukan ''Orang Bodoh'' pada gerilyawan Vietnam pro-kemerdekaan.
Pasukan Inggris selalu menyebut organisasi perlawanan Kenya sebagai organisasi primitif. Dan kini, Israel dan sekutunya di Eropa serta AS menyebut gerakan yang mempertahankan wilayah sebagai ''teroris'' atau ''teroris jihadi''.
Sebagai balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 ke wilayah Israel, rezim Tel Aviv lantas melancarkan serangan balik sekaligus kampanye disinformasi. Diantaranya, tudingan bahwa Hamas melakukan kekejaman luar biasa terhadap warga sipil Israel. Namun, Israel justru menyembunyikan perlakuan kasar yang melukai warga Israel sendiri dalam pertempuran sengit lawan Hamas, untuk memperoleh kembali kendali atas wilayah pendudukan.
Ajakan Israel untuk mengutuk Hamas bergaung di seantero jagat. Ajakan itu menghapus fakta perlakukan serdadu Zionis di wilayah pendudukan yang kerap bertindak kejam kepada warga sipil selama bertahun-tahun.
Oktober 2023 secara sengaja difabrikasi sedemikian rupa oleh Israel untuk menghapus semua brutalisme itu. Dan banyak pesohor dunia lantas larut dalam fabrikasi tersebut tanpa sikap kritis.
Buku ini bukan bertujuan membela atau melawan Hamas. Justru ingin membincang tentang Hamas dan kenapa memahami Hamas itu menjadi penting dalam situasi krisis saat ini. Konten buku berisi percakapan dengan lima pakar Timur-Tengah. Diantaranya, percakapan dengan Paola Caridi, seorang akademisi Universitas Palermo yang pernah meneliti Hamas. Lalu, juga wawancara dengan Jeroen Gunning, akademisi dari King's College London, Inggris. Gunning mahaguru di bidang politik Timur-Tengah dan kajian konflik.
Selain itu, percakapan dengan Khaled Hroub, gurubesar kajian Timur-Tengah di Northwestern University di Qatar, juga menarik. Khaled Hroub mengungkap spektrum visi di dalam Hamas. Ada komponen nasionalis, pun komponen Islamis. Bahkan, dalam praksis gerakan, Hamas bisa menjadi partai politik, tapi juga bisa menjadi gerakan aksi perlawanan. Dalam konteks politik internal Palestina, wajah politis Hamas juga menjadikan organisasi tersebut sangat nasionalistik.
Ketika ditanya oleh Helen Cobban kenapa pemimpin Hamas menjadi begitu kharismatik, Jeroen Gunning menjawab bahwa kharisma itu tak terlembaga. Melainkan bersifat personal. Sosok kharismatik seperti Syaikh Yasin kemudian menjadi figur berpengaruh terhadap langkah-langkah Hamas. Kharisma religius Yasin bergeser menjadi kharisma politik, dan hal itu absah secara sosiologis.
Sementara itu, Mouin Rabbani, mantan analis senior dari International Crisis Group mengatakan bahwa saat ini berbagai kelompok perlawanan Palestina sangat terkoordinasi dan saling bekerjasama, terutama di Jalur Gaza. Hamas menjadi faksi terbesar dalam gerakan perlawanan itu.
Gerakan ini menjadi target pasukan Israel di Jalur Gaza sebelum peristiwa 7 Oktober 2023. Pada awal 2023, gerakan perlawanan Palestina melancarkan serangan roket ke Israel dua kali usai anggota Jihad Islam yang ditahan Israel meninggal di penjara. Namun, Hamas tak ikut serta dalam serangan tersebut.
Tampaknya, dua penulis buku ini, Helen Cobban dan Rami G. Khouri, mengemas percakapan dengan para pakar itu secara bagus, runtut dan menambah wawasan pembaca. Helen Cobban merupakan penulis cum periset yang bermukim di Washington DC. Secara berkala artikel-artikelnya kerap muncul di berbagai media massa internasional.
Sedangkan Rami G. Khouri adalah jurnalis sekaligus akademisi di American University of Beirut. Ia juga pernah menjadi fellow pada Harvard Nieman Journalism dan senior fellow at the Harvard Kennedy School. Selain itu, Khouri juga fellow pada the Palestinian Academic Society for the Study of International Affairs in Arab East di Jerusalem. Ia berdarah Palestina-AS. Ia kontributor rutin Aljazeera daring.
Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki