Kasus Rafael Trisambodo, Apakah Indonesia Masih Negara Hukum atau Negara Tekanan Sosial?

Rafael Alun Trisambodo/Net
Rafael Alun Trisambodo/Net

MENKO Polhukam Bapak Mahfud MD melalui laman twitternya @mohmahfudmd mengatakan "Tdk ada perdamaian atau permaafan dlm hukum pidana. Utk perkara ringan mmg ada restorative justice. Penganiayaan yg dilakukan oleh anak pejabat ini hrs diproses hukum. Scr hkm administrasi Pjbt yg pny anak dlm tanggungan hedonis dan ber-foya2 hrs diperiksa", dalam menangapi kasus Rafael Alun Trisambodo.

Padahal dalam Pasal 5 Ayat 2 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Aparatur Sipil Negara, pada UU No 5/2004 tentang Aparatur Sipil Negara, serta dalam Pasal 3 sampai Pasal 5 pada PP No 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, tidak mencantumkan bahwa "Gaya Hidup Hedon dan Berfoya-foya Keluarga PNS" seperti yang dikatakan oleh Mahfud MD adalah sebuah pelanggaran Kode Etik dan Kode Prilaku ASN atau pelanggaran Disiplin PNS.

Aturan pada UU dan PP tersebut hanya berlaku pada diri individu ASN yang diambil sumpahnya ketika menjadi ASN, bukan kepada keluarganya maupun sanak saudaranya.

Lantas hukum administrasi mana yang dimaksud Mahfud MD, yang dikatakan telah dilanggar oleh ASN jika keluarganya berfoya-foya dan hidup hedonis? Serta atas dasar landasan apa Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan pencopotan kepada Rafael Alun Trisambodo, sementara Rafael Alun Trisambodo sudah melaporkan harta kekayaannya pada LHKPN.

UU mana yang melarang bahwa seorang ASN tidak boleh kaya raya?

Rafael Alun Trisambodo dapat dinyatakan bersalah jika dia tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, sehingga tentu dapat diduga kuat harta tersebut didapat atas pengaruh jabatan yang diembannya, atau terbukti bahwa harta kekayaannya didapat secara illegal. Namun jika sebaliknya Rafael Alun Trisambodo dapat membuktikan bahwa asal-usul harta kekayaannya tersebut bukan hasil Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, ataupun bukan hasil dari perbuatan Illegal, maka secara UU Rafael tidak melakukan pelanggaran apapun atau melakukan kesalahan apapun.

Namun saat ini, sekelas Menko Polhukam yang seorang Profesor Hukum pun telah bertindak melebihi hukum itu sendiri dengan menjustifikasi Rafael Alun Trisambodo berdasarkan dalil yang tidak berlandaskan pada hukum.

Demikian juga Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang melakukan pencopotan kepada Rafael Alun Trisambodo dengan alasan pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin sesuai PP yang disebutkan diatas. Padahal ada 13.885 pejabat dan pegawai di Kementerian Keuangan yang belum melaporkan harta kekayaannya, hal ini jelas melanggar pasal 4 huruf e, PP No 94 Tahun 2021, yang berbunyi "PNS wajib melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Artinya jika hal ini menjadi alasan pemberhentian Rafael Alun Trisambodo oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, maka 13.885 ASN tersebut juga harus diberhentikan dan dicopot dari jabatannya untuk dilakukan pemeriksaan, tapi nyatanya tidak.

Maka tidak berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa kedua menteri ini telah melakukan "intervensi hukum".

Jikapun Rafael Alun Trisambodo dinyatakan melanggar Kode Etik dan Kode Prilaku ASN atau pelanggaran Disiplin PNS, itu harus atas dasar prilakunya, bukan karena gaya hidup keluarganya yang hedonis atau berfoya-foya, ataupun bukan karena kasus hukum yang menimpa anaknya yaitu Mario Dandy Satrio.

Secara Hukum, Mario Dandy Satrio merupakan subjek hukum yang sah, yang bertanggung jawab atas segala perbuatan hukumnya. Bahwa Mario Dandy Satrio masih berusia 15 tahun, maka berlaku baginya UU No 11/2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Maka Mario bertanggung jawab secara sah atas prilakunya dan pertanggung jawaban itu tidak bisa dilimpahkan menjadi kesalahan Rafael selaku ayahnya.

Maka timbul pertanyaan, atas dasar apa Rafael Alun Trisambodo dicopot atau diberhentikan dari Jabatannya?

Secara emosional sosial, saya pribadi tentu juga memiliki rasa 'geram' ketika melihat pejabat negara atau sanak keluarganya memamerkan harta kekayaan sementara masih banyak masyarakat kita yang mengalami kesulitan hidup. Namun rasa tersebut harus berada dalam koridor pribadi, dan tidak boleh emosional sosial menjadi alat intervensi hukum apalagi dikeluarkan oleh pejabat publik. Dalam konteks HAM, setiap orang miliki kemerdekaannya masing-masing yang dibatasi dengan UU atau Peraturan yang berlaku dan penerapan UU atau peraturan itu berlaku sama rata untuk setiap orang.

Hukum mengajarkan kita asas praduga tidak bersalah, yang dimana saya tidak melihat asas ini dikedepankan oleh seorang Menko Polhukam yang berlatar belakang Profesor Hukum yang saya ilhami sebagai seorang Guru.

Maka sebagai Pemerhati Hukum, saya bertanya apakah Indonesia Masih Negara Hukum atau kini telah berubah menjadi Negara Tekanan Sosial, sehingga hukum tidak lagi diindahkan?

*Penulis merupakan Komunikolog Politik dan Hukum dari Lembaga Kajian Politik Nasional