- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki
SETELAH peristiwa terorisme 9/11 terjadi di AS pada 2001, muslim di seluruh dunia menghadapi kecaman bertubi-tubi. Semua kegiatan muslim diawasi. Seluruh aktivitas muslim dicurigai. Aparat keamanan gencar melakukan penguntitan. Masjid termasuk tempat yang paling diawasi karena dicurigai sebagai tempat penyemaian gagasan radikal. Penapisan berlangsung sistematis dan masif. Di dalam kota, di bandara, di tempat-tempat bersantai, seluruhnya diawasi aparat keamanan.
Semua benda milik muslim, baik yang tersimpan dalam rumah, maupun yang dibawa kemana-mana, diperiksa intensif oleh aparat keamanan. Alasan utama pemeriksaan ini adalah untuk mencegah terjadinya teror. Suasana seperti itu bukan cuma terjadi di negara-negara Barat, melainkan juga berlangsung di negara-negara Asia, Afrika, bahkan Amerika Latin. Penggeledahan dilakukan secara maraton, tanpa perlu meminta izin pemilik rumah. Atas nama pencegahan teror, penggeledahan itu menafikan hak pemilik rumah.
Paranoid terhadap teroris telah meningkatkan kewaspadaan aparat keamanan. Mereka tak ingin kecolongan, mereka tak ingin teledor. Penjagaan jalanan diperketat, kamera CCTV dipasang dimana-mana. Semua gerak-gerik warga diawasi. Terutama warga muslim, tak lagi bisa bebas, karena aparat mencurigai muslim telah menyalah-gunakan kebebasan melalui aksi-aksi teror. Padahal, penyisiran, penggeledahan semena-mena, penangkapan dengan bukti minim serta label teroris yang dicap ke muslim, semuanya itu justru menunjukkan perilaku teror aparat kepada muslim.
Pernyataan Presiden Donald Trump yang melarang seluruh muslim ke AS menambah bobot Islamofobia. Situasi itu sungguh ironi. Selama ini negeri Abang Sam (AS) dikenal sebagai tanah kebebasan. Warga bebas berekspresi dan beraktivitas. Negara tidak boleh mempersempit kebebasan warga. Konstitusi AS menjamin kebebasan warga. Namun, ada kekhawatiran yang mencuat usai peristiwa 9/11, bahwa kebebasan justru menjadi kebablasan. Teroris memanfaatkan kebebasan untuk meneror warga. Teroris menggunakan kebebasan untuk menebar horor.
Buku ini dibuka dengan kisah komunikasi penulis dengan seorang detektif Kanada. Sang detektif meminta bantuan penulis untuk memberi informasi tambahan karena otoritas AS datang ke Kanada guna memperdalam informasi seorang tersangka teroris, yakni Muhanad Al Farekh. Penulis sendiri meyakini bahwa Muhanad Al Farekh telah tewas beberapa tahun lalu. Namun sang detektif menyatakan Muhanad Al Farekh kini dalam tahanan otoritas AS. Usai komunikasi, penulis merasa ada masalah serius dalam kajian radikalisasi dan bagaimana cara menderadikalisasi. Jika pemahaman terhadap proses radikalisasi tidak utuh, maka proses deradikalisasi bakal gagal.
Peristiwa 9/11 telah mendongkrak minat banyak pakar terhadap kajian radikalisasi. Para ilmuwan sosial rata-rata berkulit putih non-muslim ikut dalam kajian tersebut. Mereka berlomba-lomba mengkaji proses radikalisasi, dengan target kajian pada kaum muslim. Studi radikalisasi menekankan sejumlah besar faktor sosial dan individu yang mungkin berfungsi sebagai variabel kausal dalam lintasan Muslim untuk menuju ideologi jihadis dimana tindakan politik kekerasan dilegitimasi atas nama keyakinan Islam.
Munculnya kekhalifahan ISIS yang memproklamirkan diri pada tahun 2014 memberi dorongan baru bagi upaya untuk memahami radikalisasi. Ribuan petarung ISIS dari Barat berbondong-bondong ke tanah ISIS, dan beberapa lainnya menyerukan perang melawan Barat. Muhanad Al Farekh, Miawand Yar, dan Imam Ferid adalah tiga mahasiswa Universitas Manitoba yang diduga menjalani radikalisasi bertahun-tahun sebelum eksodus petarung ISIS dari Barat.
Masalah utama pada wacana radikalisasi adalah disembunyikannya kompleksitas sejarah kehidupan politik dan agama. Radikalisasi menjadi wacana untuk melayani para aktor negara terhadap populasi yang dicurigai. Seabad yang lalu, disiplin ilmu antropologi dan studi Oriental melayani tujuan yang sama, memungkinkan para ahli mempelajari orang-orang terjajah untuk kemudian hasilnya dilaporkan ke kantor urusan tanah jajahan. Di Indonesia, kajian-kajian oriental itu dipelopori salah-satunya oleh Snouck Hurgronje.
Snouck khusus mengkaji Islam dan muslim untuk tujuan memberi masukan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda tentang bagaimana cara mengelola muslim di tanah jajahan. Saat ini, beberapa antropolog dan sarjana studi Islam terus menasihati pemerintah. Para pakar ini umumnya mengadopsi sikap yang lebih kritis pada kekerasan terhadap dunia non-"Barat". Oleh karena itu, studi radikalisasi muncul sebagai respon terhadap peristiwa 11 September, yakni untuk memahami secara mendalam para jihadis. Selain itu, para ahli radikalisasi tersebut sering bertugas di badan keamanan nasional seperti CIA.
Akhirulkalam, islamofobia yang berkembang pesat belakangan ini di negara-negara Eropa, AS, Kanada dan negara-negara lain tentu tak bisa dilepaskan dari orotitas negara dalam mengelola deradikalisasi. Ketika proses deradikalisasi ini menggila dengan serampangan menuding muslim sebagai radikal atau calon teroris hanya karena penuding paranoid atau berdalih demi pencegahan terorisme, maka pada saat itulah islamofobia meningkat. Kebencian yang dikapitalisasi secara politik untuk memperoleh anggaran jumbo deradikalisasi.
Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki