Brutus Soeharto

Dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Henrykus Sihaloho/Ist
Dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Henrykus Sihaloho/Ist

TAHUN 1995 seorang pastor Yesuit pernah menjadi pembicara tunggal di sebuah universitas di Medan. Rahib yang profesor itu mengagetkan hadirin saat mengatakan bahwa Soeharto benar-benar memperhitungkan keberadaan 2 tokoh besar di Indonesia, yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri.

Saat itu sejumlah politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) antara percaya dan tidak percaya. Faktanya, keduanya kemudian menjadi Presiden keempat dan kelima.

Khusus untuk Megawati, proses menjadi Presiden memang menempuh jalan berliku dan berbahaya lantaran penuh onak dan duri. Soeharto sendiri pastilah sudah mulai mengawasi gerak langkah Megawati sesudah putri tertua BK ini menjejakkan kakinya di dunia politik yang konon kabarnya terjadi atas bujukan Aberson Marle Sihaloho.

Menyadari potensi Megawati yang luar biasa, Aberson kemudian melakukan gerilya politik dengan bersafari ke DPC-DPC PDI beberapa bulan sebelum KLB PDI di Sukolilo, Surabaya pada 2-6 Desember 1993. Frans Seda, sesepuh PDI, kemudian menyebut “gerilya” politik ini sebagai “bad politics

Aberson memulai gerilya politiknya dengan mendatangi DPC-DPC PDI di Jawa Tengah. Jawa Tengah adalah daerah pemilihan Aberson yang membuatnya menjadi anggota DPR RI 1987-1992 dan 1992-1997. Menurut almarhum, murid dan pengagum berat BK ini, Jawa Tengah adalah kantong marhaenis yang utama.

Apa yang disebut Seda sebagai “bad politics,” ternyata sebaliknya. Kebalikan dari itu bisa dibaca dari sebuah akun @ibumegawati hampir 2 tahun lalu yang unggahannya menyatakan, "Salah satu peristiwa bersejarah PDI Perjuangan, dan bersejarah untuk perjalanan politik saya, adalah Kongres Luar Biasa PDI pada 2-6 Desember 1993 di Surabaya, Jawa Timur".

Perempuan Besi

Julukan “perempuan besi” pertama kali disematkan seorang jurnalis Soviet (sekarang Rusia) kepada Margaret Thatcher. Margaret Thatcher, perempuan pertama dan terlama menjabat PM Inggris (1979-1990) ini, memang pantas dijuluki demikian lantaran gaya politik dan kepemimpinannya yang tanpa kompromi.

Megawati patut menjadi “perempuan besi” Indonesia karena dengan gaya kepemimpinan yang khas, tahan uji, tahan banting, konsisten, tidak kenal lelah, dan pantang menyerah, ia membawa partainya 3 kali memenangkan pemilu (1999, 2014, dan 2019).

Ia seperti itu bukan semata karena ia anak biologis dan ideologis BK. Dua adiknya, Rachmawati dan Sukmawati yang masing-masing kemudian mendirikan Partai Pelopor dan PNI Marhaenisme, nasib partainya hanya sebatas partai gurem dan berumur pendek.

Bahwa Megawati memiliki potensi luar biasa seperti yang diyakini Aberson menemukan kebenarannya merujuk pada perolehan kursi PDI.

Empat tahun sebelum PDI “berhasil memiliki” Megawati (1986), perolehan kursi PDI pada Pemilu 1982 hanya 24.

Perolehan ini kemudian melonjak menjadi 40 (naik 67%) pada Pemilu 1987 dan 56 (naik 40%) pada Pemilu 1992. Dalam 2 pemilu itu, Megawati dan suaminya almarhum Taufiq Kiemas (TK) ikut menjadi caleg dan menjadi anggota DPR RI.

Brutus

Belajar dari lonjakan kursi PDI pada 2 pemilu (1987 dan 1992) pascakehadiraan Megawati, konon dengan kekuatan cuan dan/atau intimidasi, Soeharto dan orang-orangnya mulai memanfaatkan “Brutus” yang ada di PDI 1-2 tahun sebelum Pemilu 1997.

Kehadiran “Brutus” ini langsung memelorotkan kursi PDI menjadi 11 pada Pemilu 1997. Angka 11 ini pun sebenarnya hasil koreksi dari perolehan 10 kursi PDI di awal pengumuan resmi untuk tidak mempermalukan seorang “Brutus” yang berinisial FA dari daerah pemilihan Sumatera Utara yang ikut menggembosi partainya.

Seorang laki-laki (berinisial PS) yang menjadi teman dekat perempuan FA untuk “menghabisi” PDI akhirnya diberi “hadiah” jabatan Menteri LH Kabinet Reformasi Pembangunan selama 1 tahun 5 bulan.

Siapa itu Brutus? Marcius Junius Brutus atau sering disebut sebagai Brutus lahir di Roma pada 58 SM. Meski ia mendapat pengampunan dari Julius Caesar (JC) karena bersekutu dengan Pompey pada masa perang saudara melawan JC, ia kemudian ikut berkonspirasi membunuh kaisar Romawi JC.

Setelah berhasil membunuh JC pada 44 SM, kerajaan Romawi bergejolak dan banyak pihak memperebutkan kekuasaannya. Brutus dan Gaius Cassius Longinus lalu menjadi buronan para pengikut JC dan keturunannya.

Pada tahun 42 SM, Brutus dan pengikutnya kalah dalam Perang Filipi dan ia akhirnya memutuskan bunuh diri. Sejak saat itu nama Brutus dikenal sebagai pengkhianat dalam dunia politik.

Dari sejarah di atas, “Brutus” dalam PDI (yang kemudian menjadi PDI Perjuangan) sudah terjadi sebelum ada gerakan yang mendambakan partai itu di bawah kepemimpinan Megawati untuk menjadi besar dan menghidupkan kembali ideologi BK.

Bila Masinton pernah menyebut orang dalam sebagai “Brutus”, belakangan ia sepertinya condong menyebut orang luar. Sejumlah pengamat cenderung menyebut pengkhianatan yang bakal terjadi itu merupakan konspirasi dari internal dan eksternal dengan bantuan oligarki.

Bila di zaman JC kerajaan Romawi bergejolak 2 tahun pascapembunuhan JC lantaran banyak pihak berebut kekuasaan, PDI Perjuangan bukan hanya bergejolak bila pengkhianatan itu berhasil mendongkel Megawati, tetapi PDI Perjuangan bisa tinggal sebuah nama.

PDI Perjuangan menjadi tinggal sebuah nama karena tidak ada lagi yang membekas di benak masyarakat. Kita perlu ingat, begitu Megawati masuk “kandang banteng” pada 1986, dalam benak masyakat hingga kini hanya ada satu nama representasi dari BK.

Nama-nama lain hanya dianggap nama pembawa trah BK saja. Buktinya sederhana: begitu Megawati pada 14 Maret 2014 memberi mandat kepada Joko Widodo, elektabilitas Joko Widodo langsung melejit meski ada keberatan dari 2 saudara kandungnya.

Amanat TK

Sebuah pepatah mengatakan, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Mengingat pepatah itu, kesadaran kematian akan menimpa dirinya suatu saat tentu ada pada TK.

Anehnya, TK tahu kematian itu akan lebih dulu menimpa dirinya ketimbang sahabatnya Rizal Ramli (RR). Yang mengherankan, meski ada banyak yang seideologi dengan dirinya, entah mengapa hanya RR seorang yang mendapatkan amanat dari TK dengan sebuah kalimat yang bernas, “Rizal, Abang titip Puan.”

Ucapan itu menemukan kebenarannya dari ucapan Puan yang mengatakan bahwa sang ayah pernah berpesan kepadanya kalau menghadapi suatu kesulitan supaya datang ke Rizal Ramli (Baca:Taufiq Kiemas dalam Kenangan Rizal Ramli: Sikapnya Merangkul Semua Orang).

Meski Penulis pernah mengetahui “riwayat” TK lebih rinci dari Aberson yang Penulis panggil “Bapatua” dan pernah mendapat wejangan politik sekitar 3 jam saat berbicara berdua dengan TK di rumah kakak Aberson di Bogor, Penulis tidak berani memaknai amanat yang ditujukan TK kepada RR di atas.

Megawati seoranglah yang paling tahu apakah amanat TK demi keberlangsungan ideologi Pancasila, keberlangsungan PDI Perjuangan sebagai pengusung ideologi itu, dan keberlangsungan NKRI di tengah gerilya “Brutus-Brutus” yang sedari dulu siap menerkam karena cuan dan demi kepentingan sesat dan sesaat mereka dan kelompoknya.

Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Medan.