Mengupas Sejarah Budaya Makan Daging

Foto dok
Foto dok

PENGALAMAN bangsa Jerman berinteraksi dengan warga atau komunitas Yahudi selama lebih dari 700 tahun bisa memberi gambaran bagaimana interaksi itu terjadi, termasuk dalam soal makanan. Bangsa Jerman tergolong multi-etnik. Mereka meliputi Frank, Frisia, Saxon, Thuringi, Alemanni, dan Baiuvarii, yang berbicara dengan dialek Jermanik Barat. Kelompok-kelompok ini dipengaruhi oleh budaya Romawi yang akhirnya berada di bawah kekuasaan etnik Frank, yang memainkan peran penting dalam pembentukan identitas Jerman.

Sedangkan orang-orang Yahudi hadir di Jerman sejak masa Romawi. Berbagai bukti sejarah di Jerman menunjukkan kehadiran para Yahudi pertama di Kologne pada tahun 321. Artinya, mereka telah ada di Jerman pada saat wilayah Jerman berada dalam kekuasaan Romawi. Dalam kesehariannya, orang-orang Yahudi sangat ketat menjalankan aturan soal makanan dan minuman. Mereka mengutamakan makanan berkategori ''kosher'' (halal). Diantaranya, daging. Orang Yahudi tak makan babi.

Kebiasaan mengolah daging halal sedemikian rupa menjadi aneka makanan kemudian diperkenalkan oleh komunitas Yahudi Jerman kepada masyarakat Jerman secara keseluruhan. Kebiasaan tersebut tentu tak bisa ditemukan dari komunitas/kelompok etnik atau keagamaan yang mengharamkan daging. Dalam catatan awal penulis buku ini, seni makan daging hanya bisa dijumpai dalam masyarakat yang melihat daging sebagai sumber penting makanan. Sedangkan dalam masyarakat yang punya ajaran tidak makan daging, maka sulit ditemukan seni mengolah daging serta kisah-kisah menarik di balik dari sejarah makan daging hewan.

Sembari merujuk ke argumen antropolog Mary Douglas yang menyoroti budaya makan daging, penulis buku ini menegaskan porsi makan daging bisa berbeda meski dalam keluarga. Bahkan dalam komunitas masyarakat yang masih berburu hewan untuk dimakan dagingnya, pembagian porsi daging hewan hasil pemburuan itu bisa menunjukkan status sosial. Mereka yang dianggap sebagai warga senior dalam komunitas biasanya memperoleh bagian daging agak besar, sedangkan pemburu hewan memperoleh sisa besar hasil pemburuan setelah pembagian.

Bagi mereka yang punya keyakinan agama sangat kuat, daging lebih dari sekadar makanan. Daging adalah ruang virtual dimana keyakinan agama sering terpaut. Misalnya, kisah penyembelihan seorang putra Nabi Ibrahim yang lantas diganti seekor domba, lalu daging domba itu dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Kisah ini sangat sohor, karena daging domba yang halal itu sekaligus ''thoyiban'' (baik) untuk membangun emansipasi sosial. Kepedulian pada warga miskin yang membutuhkan asupan protein hewani.

Metode penyembelihan hewan berdaging halal pun tak boleh sembarangan. Ada proses tersendiri, yakni niat tulus dalam doa yang mengikuti proses tersebut. Dan penyembelihan dilakukan dengan sekali sabet yang langsung membuat hewan mati seketika. Tidak boleh membuat hewan sembelihan menderita lama. Metode seperti ini telah dikenal lama oleh kaum beragama yang taat. Termasuk para tukang jagal sapi atau domba beragama Yahudi. Mereka mempraktekkan metode ini selama ratusan tahun di tanah Jerman.

Sejarawan Yahudi Yosef Kaplan menceritakan sebuah peristiwa di Amsterdam. Saat itu, kalangan Yahudi Sephardim pada abad ke-17 harus mengajari puluhan pemeluk baru Yahudi yang belum mengenal ''kosher''. Yakni, makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi oleh penganut Yahudi. Kebiasaan lama para penganut baru ternyata tak hilang meski mereka sudah berganti ke agama Yahudi. Oleh karena itu, para Yahudi Askenazim kemudian memperingatkan para penganut baru itu agar hanya membeli daging atau minuman dari kedai yang dikelola orang Yahudi.

Ketegangan serupa terjadi antara pengikut Hasidim lawan Mitnagdim di Polandia. Keduanya merupakan gerakan keagamaan Yudaisme yang muncul di abad ke-18. Ketegangan dipantik dari metode penyembelihan hewan. Pengikut Hasidim menyoal para penyembelih yang tak terlatih, mereka dianggap pengikut Mesiah palsu serta pisau sembelihan yang digunakan tak tajam. Kaum Hasidim beranggapan jika hewan sembelihan tak segera terpotong dengan pisau tajam, maka akan ada jiwa Yahudi yang masuk ke dalam hewan itu. Akibatnya, hewan tersebut menjadi tak boleh dimakan oleh orang Yahudi. Pandangan ini berasal dari keyakinan Kabalistik tentang reinkarnasi.

Akhirulkalam, sejarah budaya makan daging memang bisa ditemui dimanapun. Sebagai sumber protein penting untuk kesehatan, tentu saja daging yang halal dan thoyiban sangat dibutuhkan yang mengkonsumsinya. Namun, kisah makan daging ini ternyata bukan perkara remeh, terbukti sejarah panjang umat manusia mengkonsumsi daging pada dasarnya merupakan sejarah peradaban.

*Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news