Politik Militer dan Etika Demokrasi

Panglima Kodam III Siliwangi, Mayjen Kunto Arief Wibowo/Net
Panglima Kodam III Siliwangi, Mayjen Kunto Arief Wibowo/Net

JAGAT dunia maya dua minggu belakangan diramaikan oleh artikel dari Panglima Kodam III/Siliwangi, Mayjen Kunto Arief Wibowo.

Artikel berjudul Etika Menuju 2024 tersebut dalam perspektif demokrasi yang memberikan ruang politik hanya untuk warga negara dari kalangan sipil sebenarnya tidak lazim, karena Reformasi 1998 menghasilkan sebuah konsensus yang menihilkan peranan militer dalam politik.

Namun jika kita menelaah artikelnya lebih dalam, pernyataan Panglima Siliwangi tersebut tentu tidak dapat dikategorikan sebagai insubordinasi militer terhadap penyelenggara negara yang merupakan politisi sipil.

Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) sendiri saat dilantik membaca sumpah yang menjanjikan kesetiaan mereka pada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bukan kesetiaan pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Kebetulan sekali bertepatan dengan peringatan 25 tahun Reformasi yang bertolak dari pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, Divisi Siliwangi juga merayakan ulang tahunnya yang ke-77 pada tanggal 20 Mei nanti.

Kesatuan militer tertua dari Angkatan Darat tersebut memang memiliki tradisi unik dalam sejarah politik Indonesia. Divisi Siliwangi tidak hanya memiliki peranan penting dalam menjaga keutuhan NKRI dari berbagai gejolak politik yang mengarah pada gangguan keamanan, tetapi juga berkontribusi dalam perkembangan demokrasi itu sendiri.

Divisi Siliwangi dan Intelektualisme

Didirikan sebagai penggabungan tiga Divisi TKR di Jawa Barat pada 20 Mei 1946, Kodam III/Siliwangi disusun sebagai kesatuan militer elite dengan keterampilan militer profesional, dan patuh pada kepemimpinan politisi sipil.

Siliwangi tergolong kesatuan militer elite karena didirikan tidak hanya oleh mantan prajurit PETA dan Heiho didikan Militer Jepang yang fasis, tetapi juga mantan prajurit KNIL yang lebih terlatih secara militer dan tidak hanya mengandalkan modal semangat seperti prajurit PETA dan Heiho.

Karena sikap profesional inilah, Divisi Siliwangi memilih untuk patuh pada keputusan Pemerintah RI yang memerintahkan pengosongan Kota Bandung pada bulan Maret 1946, dan juga patuh pada kesepakatan Linggarjati dan Renville yang jelas merugikan kaum Republiken.

Begitu juga saat TNI mengalami rasionalisasi, ribuan prajurit Siliwangi yang diberhentikan tidak memilih memberontak seperti yang dilakukan sebagian prajurit yang dipengaruhi PKI di Solo dan Madiun 1948.

Keunikan Divisi Siliwangi lain yang tidak dimiliki kesatuan militer lain adalah keterlibatan mahasiswa dalam penyusunan slagorde pasukannya.

Tercatat dalam buku Siliwangi Dari Masa ke Masa (1979), mahasiswa dari Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta seperti Eri Soedewo, Soeroto Koento, Daan Jahja dan Soebianto Djojohadikoesoemo, serta dari Sekolah Tinggi Teknik Bandung seperti Soegiarto Koento, H.R. Dharsono, Simon Lumban Tobing, Mashudi dan S. Tjakradipura terlibat dalam penyusunan Resimen Jakarta dan Bandung.

Intelektualisme di tubuh Siliwangi ini mungkin yang memengaruhi pikiran Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Nasution saat ia berpidato tanpa teks berjudul Jalan Tengah Tentara pada November 1958 yang menekankan pentingnya peranan tentara di luar urusan militer.

Pikiran-pikiran politik Panglima Siliwangi tidak hanya soal peranan tentara dalam bidang non-militer, tetapi juga usulan perbaikan sistem demokrasi parlementer seperti pemberlakuan sistem pemilihan distrik.

Walaupun demikian, Daniel Lev (1966) mencatat bahwa usulan Nasution menjelang pemilu yang direncanakan terlaksana pada 1959 tersebut tidak lebih dari upaya mencegah PKI, musuh Angkatan Darat untuk masuk dalam DPR.

Saat Mayjen Dharsono menjadi Panglima Siliwangi sejak berlakunya Supersemar 1966, ia termasuk perwira yang menyuarakan perubahan radikal dalam politik. Dharsono menyuarakan pentingnya pembubaran partai-partai politik pendukung

Demokrasi Terpimpin dan mengelompokkan masyarakat Indonesia dalam dua partai saja, yaitu partai pendukung pemerintah dan oposisi seperti di negara-negara yang demokrasinya lebih mapan, sebuah sikap yang menyebabkan dirinya diparkir dari jabatan Panglima dalam usia sangat muda dan didubeskan.

Jenderal Dharsono juga bersuara keras menentang pendudukan militer terhadap kampus UI, ITB dan kampus-kampus lainnya yang bergerak menentang pencalonan Soeharto untuk ketiga kalinya dalam Sidang Umum MPR 1978. Alumni TH Bandung jurusan Teknik Kimia sebelum pendudukan militer Jepang tersebut akhirnya dipecat dari jabatannya sebagai Sekjen ASEAN.

Tentang Politik Militer

Kini kita kembali dari romantisme sejarah intelektualisme Siliwangi kepada artikel Jenderal Kunto, anak dari mantan Panglima ABRI dan Wakil Presiden ke-6 RI, Jenderal Try Sutrisno.

Ayahnya menjadi Wapres RI periode 1993-1998 adalah bentuk dari apa yang disebut oleh Salim Said (2015) sebagai perlawanan tentara terhadap dominasi politik Soeharto yang terus menjadikan TNI hanya sebagai alat politik kekuasaan pribadinya.

Pada dasarnya, Soeharto menginginkan Habibie menjadi Wapres RI, tetapi kemudian Fraksi ABRI bermanuver sendiri, diduga atas dorongan Menteri Hankam L. B. Moerdani, untuk mencalonkan Panglima ABRI, Try Sutrisno.

Benny Moerdani sendiri sebagai mantan Pangab sebelum Try Sutrisno berperan penting dalam mengubah sumpah prajurit dari kesetiaan kepada pemerintah menjadi kesetiaan pada Negara.

ABRI pada masa kepemimpinan Benny Moerdani menjadi lebih tidak bergantung pada patrimonialisme Soeharto yang menjadikan seluruh aktor politik pada masa Orde Baru memerlukan restu kekuasaan darinya sebagai pemimpin tunggal.

Dinamika politik antara Soeharto dan ABRI pada akhir 1980-an ini juga yang diduga menjadi penyebab mengapa kemudian mahasiswa dapat kembali bergerak dalam isu-isu yang lebih merakyat seperti penggusuran tanah dan kenaikan harga, dibandingkan isu elitis seperti pergantian Presiden.

Sejarah juga menjadi saksi bagaimana kader-kader ABRI junior Benny Moerdani dan Try Sutrisno berperan penting dalam menghapus peranan politik militer dalam doktrin Dwifungsi sebagai ruh perubahan Reformasi 1998.

Militer mengundurkan diri dari politik memang diawali oleh desakan kaum intelektual kampus, tetapi keputusan tersebut juga diambil oleh pemimpin militer saat Reformasi.

Mungkin inilah watak khas TNI yang menurut pengamat militer Salim Said sebagai self-created army atau tentara yang membentuk dirinya sendiri bukan dibentuk oleh negara. TNI selalu dapat mengambil sikap politik independen walau tidak harus berseberangan dengan pemerintah sebagai pengguna kekuatan militer secara legal-formal.

Sikap independen plus nuansa intelektualisme khas Siliwangi inilah yang menurut penulis menjadi dasar mengapa Mayjen TNI, Kunto Arief Wibowo yang memegang komando atas sebuah kesatuan militer utama mengutarakan keresahannya atas berbagai peristiwa politik yang ia nilai sebagai pelanggaran terhadap etika demokrasi.

Tentang Etika Demokrasi

Tetapi pertanyaannya adalah, apakah benar proses demokratisasi Indonesia setidaknya sejak Reformasi 1998 berjalan di atas rel etika. Sebagai contoh, saat Presiden Joko Widodo mengumpulkan ketua-ketua umum partai politik koalisi pendukung pemerintah di Istana Negara minus satu partai yang dianggap sudah memiliki koalisi sendiri dengan calon presiden yang berbeda preferensinya dengan Jokowi, apakah hal tersebut melanggar etika politik sebagaimana yang dikritisi oleh lawan politik Jokowi?

Jika menengok pada sejarah, ternyata presiden sebelum Jokowi, yaitu SBY juga menggunakan istana sebagai fasilitas negara untuk mengumpulkan koalisi partai pendukung pemerintah dengan nama Sekretariat Gabungan.

Biasanya di negara dengan sistem politik demokrasi lebih mapan, Presiden walaupun seorang kader partai politik tidak mencampuri urusan partai, karena waktunya akan tercurah untuk urusan pemerintahan.

Dengan kata lain, jika etika demokrasi yang dimaksud adalah soal kepentingan publik, maka pembentukan dan pertemuan koalisi ditentukan oleh ketua-ketua umum partai tanpa campur tangan Presiden.

Dalam urusan pengesahan RUU usulan Pemerintah misalnya, seharusnya ketua-ketua umum yang dipilih oleh kongres atau musyawarah partailah yang menggodok dan melakukan lobi politik di DPR.

Presiden cukup mengirim utusan dari Pemerintah untuk membahas RUU tersebut dalam panitia yang dibentuk DPR, tidak perlu bertemu ketua umum partai politik menggunakan fasilitas publik.

Namun tentu saja, politik Indonesia yang masih bercirikan patrimonialisme menjadikan insan politik tidak dapat membedakan loyalitas kepada kepentingan personal maupun kepentingan publik.

Maka tidak perlu heran, jika dalam suatu diskusi di sebuah stasiun televisi semalam (9 Mei 2023), seorang politisi menyatakan Presiden Jokowi sah-sah saja memihak pada Capres yang diajukan oleh partai politiknya Presiden yaitu PDI Perjuangan.

Jika merujuk pada tradisi politik Amerika, Presiden Obama memberikan dukungannya pada Hillary Clinton pada Pemilu Presiden AS 2016 setelah istri mantan Presiden Bill Clinton tersebut dipastikan menang dalam Konvensi Nasional Demokrat.

Namun hal yang kita lupakan adalah bagaimana publik Amerika menghukum Partai Demokrat yang para elitenya terlihat jelas menjegal rival Hillary dalam Konvensi yaitu Bernie Sanders, dengan tidak memilih Hillary di beberapa negara swing.

Akibatnya, Donald Trump yang berwatak populis memenangkan Pemilu dalam agregat suara elektoral walaupun kalah dalam pemungutan suara sebagaimana sistem pemilihan presiden AS.

Dengan kata lain, publik seharusnya yang memiliki kesadaran kritis untuk menjaga bagaimana etika politik penyelenggaraan negara didasarkan atas demokrasi yang mengutamakan kepentingan publik.

Partai-partai politik seharusnya berperan penting menyaring calon presiden dan usulan kebijakan negara dari, oleh dan untuk kepentingan publik.

Penutup

Jika kemudian sikap Mayjen Kunto Arief Wibowo adalah upaya mengajak masyarakat untuk menegakkan etika politik menjelang Pemilu 2024, maka tentu saja etika yang dimaksud adalah etika demokrasi yang mengutamakan kepentingan publik.

Kepentingan publik tentu saja tidak hanya soal kepatuhan pada konstitusi yang membatasi masa jabatan Presiden, tetapi juga berbagai proses penyusunan kebijakan negara yang belum jelas pemihakannya pada kepentingan publik.

Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang tergugah dengan tulisan sang Jenderal, kita tidak boleh melupakan pentingnya mengedepankan etika demokrasi tentang kepentingan publik tersebut.

Dengan demikian, sikap politik seorang perwira tinggi militer tidak bergulir menjadi sebuah perubahan politik dari sistem demokrasi menjadi sistem otoritarian yang dibalut isu-isu populisme.

Kalaupun sikap tersebut bergerak menjadi sebuah tindakan yang bergerak dalam tempo singkat, maka gerakan tersebut haruslah dalam kerangka demokratis yang berupaya melibatkan rakyat dalam keputusan-keputusan politik untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai salah satu dasar negara kita.

Penulis adalah Peneliti IndeSo dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik FISIP UI.