Musra dan Anti Klimaks Jokowi

Musra Jokowi digelar di GBK, Minggu 14 Mei 2023/isr
Musra Jokowi digelar di GBK, Minggu 14 Mei 2023/isr

GERAKAN asal bukan Anies yang dikemas dengan nama musyawarah rakyat mengalami anti klimaksnya, kalau tidak boleh dibilang gagal. Hal ini terlihat dari puncak acara digelar di GBK, Minggu 14 Mei 2023.

Sejatinya genda utama dari puncak Musra kali ini adalah pemberian arahan oleh Jokowi mengenai kemana kapal besar relawan Jokowi akan dilabuhkan pada Pemilu 2024. 

Untuk memandu arahan tersebut, penanggung jawab Musyawarah Rakyat (Musra) Budi Arie Setiadi akan menyerahkan tiga nama usulan calon presiden (capres) kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), yakni bakal capres Ganjar Pranowo, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.

Selain nama Capres, acara tersebut juga memunculkan nama-nama Cawapres, ada nama Moeldoko, Sandiaga Uno, Arsyad Rasyid ( Ketua Kadin)  dan juga ada nama Mahfud MD, sayangnya nama Eric Thohir tak disebut oleh Budie Arie. 

"Agenda utama dari puncak musra ini adalah pemberian arahan oleh Joko Widodo (Jokowi) mengenai ke mana kapal besar relawan Jokowi akan menuju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024", ungkap Budi Arie.

Pengarahan Jokowi yang ditunggu-tunggu oleh relawan, ternyata tak didapatkan kecuali hanya pernyataan terimakasih kepada relawan yang dikemas dalam ungkapan bahwa persoalan pemimpin nasional bukan hanya persoalan elit, ini juga persoalan rakyat. Jokowi tak akan membuka hasil rekomendasi musra ini, "Belanda masih jauh", Jokowi akan langsung sampaikan kepada koalisinya.

"Menurutnya bahwa konstitusi mensyaratkan yang bisa mencalonkan capres atau cawapres hanya partai atau gabungan partai, sehingga bagian saya adalah memberikan bisikan kuat, kepada partai-partai yang sekarang ini koalisinya juga belum selesai," kata Jokowi di Istora, Minggu, 14 Mei 2023.

"Jadi kalau saya sekarang untuk apa, itu yang namanya strategi, jangan grasa-grusu. Belanda masih jauh." tambahnya.

Apa yang disampaikan oleh Jokowi memang begitulah seharusnya, namun sebagai presiden ini menunjukkan bahwa kemampuan Jokowi untuk mengintervensi partai politik juga tidak seperti sebelumnya yang bisa semaunya meng endorse nama nama. 

Jokowi nampaknya mulai berhati hati dalam penyampaiannya, jalan aman dipilih dengan memposisikan sebagai pembisik terhadap koalisi pemerintah, apalagi kalau dicermati, koalisi pemerintah juga terpecah menjadi empat. PDIP sebagai pemilik golden ticket, Koalisi Indonesia Raya yang terdiri dari Gerindra dan PKB, Koalisi Indonesia Bersatu yang terdiri dari PAN, PPP dan Golkar serta Partai Nasdem yang sudah memisahkan diri dengan bergabung pada Koalisi Perubahan Untuk Persatuan bersama PKS dan Partai Demokrat yang mencalonkan Anies sebagai capres.

Kehati hatian Jokowi bisa di persepsi bahwa posisi Jokowi tak sedigdaya dulu seiring dengan penetapan pendaftaran capres dan cawapres. Berlaku hukum kekuasaan presiden akan semakin melemah sejalan dengan semakin dekatnya masa berakhirnya kepemimpinan. 

Dalam posisi ini Jokowi juga harus mempertimbangkan jaminan keamanan dirinya dan keluarga serta keberlanjutan programnya. Menarik dalam konteks ini Jokowi berharap akan mendapatkan jaminan sari semua dengan kedatangan LBP menemui Surya Paloh.

Penunjukkan Ganjar oleh PDIP tentu akan membuat dominasi Jokowi terhadap Ganjar terbatasi. PDIP tegas mengatakan bahwa urusan capres dan cawapres adalah hak prerogatif Megawati selaku ketua umum. Hal yang sama terjadi pada partai-partai lain, masing masing mempunyai kedaulatan partai yang tak mudah bagi Jokowi mengintervensinya. 

Yang paling jelas adalah Partai Nasdem, dengan keyakinan akan perubahan dan nasib bangsa lebih baik lagi, Nasdem meyakini Anies adalah orang yang tepat. Meski dengan berbagai tekanan Nasdem bergeming tetap mencalonkan Anies. Sikap Nasdem ini juga diikuti oleh Gerindra dan Golkar, harga mati bahwa ketua umumnya, Prabowo dan Airlangga Hartarto adalah Capres. Sehingga sejatinya koalisi pemerintah yang terdiri dari PDIP, Gerindra, Golkar, PKB PAN dan PPP semakin lemah dan ini juga menjadi pertanda lemahnya dominasi Jokowi.

Ketidakmampuan Musra mendesak Jokowi untuk memberi arahan secara langsung harus dipahami bahwa posisi Jokowi sedang mengalami anti klimaks, apalagi ditambah dengan sebaran survey penguasaan suara di berbagai wilayah, dimana Anies mendominasi di Jakarta, Banten, Jabar dan daerah daerah lain diluar Jawa, Kecuali Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Semoga saja pemilu dan pilpres 2024 baik baik saja dan menghasilkan pemimpin yang baik bagi Indonesia.

Kolumnis dan Akademisi