Membaca Ulang Arketip Generasi Milenial

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

MENUJU tahun politik 2024 seluruh media nasional mulai mengabarkan tentang generasi milenial. Preseden ini utamanya merupakan ancang-ancang menyambut pesta demokrasi yang terjadi ditahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2024 mendatang, kepala departemen politik dan perubahan sosial CSIS mengatakan akan didominasi oleh generasi Z dan milenial yang rentang usianya 17-39 tahun mendekati 60 persen hal ini dilakukan berdasarkan periode survey pada tanggal 8 sampai 13 Agustus 2022. Apalagi generasi milenial saat ini bukan saja menjadi pemilih pasif namun sudah berada pada posisi game changer. Oleh karena itulah tidak mengherankan bila kata milenial menjadi jargon utama elite dalam membuat kebijakan ataupun isu merebut respon public.

Seiring dengan itu, sebagian besar masyarakat yang baru beradaptasi dengan informasi digital belum sepenuhnya memahami apa itu milenial. Sekalipun kata milineal sering di sebut-sebut dalam  diskusi, seminar, buku bahkan kebijakan pemerintah yang sudah bergulir sejak tahun 2019. Namun milenial harus dijejaki juga secara histori berdasarkan rangkaian peristiwa pemisah generasi (critical moments), agar mampu menempatkan milenial sesuai dengan budaya zamannya.

Critical moments milenials

Dalam perbincangan tentang critical moment generasi ada dua tokoh yang berasal dari Amerika serikat sebut saja Neil Howe dan William Straus melalui buku generation : A History of america’s future 1584 to 2069 bahwa peristiwa kritikal merupakan penentu lahirnya generasi dengan karakter yang baru. Demikian inilah yang mengajak generasi muda istilah saat ini milenial harus memahami sejarah serta budaya masyarakat local, sehingga kita tidak terjebak dalam generalisasi stereotip generasi, dimana generasi muda Indonesia dianggap mengadopsi konsep milenials generasi muda barat.  

Kita cenderung bisa mengambil perbandingan antara konsep milenial di Amerika serikat dan Indonesia berdasarkan rangkaian peristiwa pemisah pada setiap generasinya. Sebagaimana dipahami di Amerika serikat peristiwa kritis yang terjadi bagi generasi milenial adalah proses coming of age setelah peristiwa perang dingin berlangsung sejak akhir 1970. Ketika membaca pasca perang dunia II pasti akan menemukan sebuah arsip penting tentang peristiwa kebangkitan generasi baby boomers di amerika serikat pada tahun 1960-an. Pada era baby boomers yang berlangsung pada decade 60-an ini generasi muda Amerika serikat mengekspresikan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan perdamaian melalui komunitas dan kesenian. Tentu tidak luput dari ingatan kita mengenai sebuah festival yang menyelebrasi nilai-nilai kebebasan bertemakan 3 days of peace dan music dengan bertajuk Woodstock.

Berbeda dengan Indonesia pada periode yang sama generasi muda Indonesia mengalami proses transisi yang sulit, ditahun 1950 indonesia tengah berusaha bangkit secara ekonomi dari masa-masa perang dan revolusi. Generasi milenial yang besar dimasa tersebut sangat secara ideologis menglorifikasi festival Woodstock tersebut sebagai musuh. Bagi generasi muda indonesia keberhasilan serta kesuksesan memiliki makna yang berbeda dengan kebudayaan barat, diterjemahkan paham American dream bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil, sukses, dan menjadi sejahtera secara ekonomi. Sedangkan Indonesian dream menekankan bahwa keberhasilan serta kesuksesan bagi generasi muda Indonesia selalu berkonotasi kolektif, artinya kesuksesan itu harus ada afirmasi dari keluarga, kelompok sebaya, maupun lingkungan sosial yang lebih luas. Masing-masing generasi lahir dengan  cara arketip yang beragam.

Milenial yang keren

Pola pikir yang keren dari masa ke masa secara radikal tidak pernah berubah. Generasi milenial Indonesia meresapi keren hari ini sebagai bentuk kolaborasi antara menjadi modern dan tradisional, bukan keren dalam jelmaan eropa, atau korea semata. Pengejewantahan ini mampu dilihat dari ekspresi kultur populer anak muda Indonesia sejak tahun 1977, dimana arketip keren itu diwakili oleh film darah muda oleh pedangdut ternama Rhoma Irama, ada juga catatan si boy tayang 1987 yang berkisah tentang seorang anak gaul western minded, Boy yang digambarkan tetap menghargai prinsip persahabatan inklusif dan ritual agama, bahkan milenial yang keren itu bertahan hingga tahun 2018 dimana film dilan yang dalam sekejap mata membanjiri jagad digital dan platfrom-platfrom media sosial di Indonesia. Film yang menampilkan perpaduan antara kebengalan dan kesantunan di saat bersamaan ini menjadi pedoman milenial keren untuk menampilkan gaya hidup dalam kehidupan sehari-hari.

Perkembangan milenial keren saat ini di era teknologi digitalisasi sangat berkembang pesat bahkan dengan model kreatifitas yang tertuang dalam berbagai macam platfrom aplikasi yang tersedia. Milenial keren hari ini dengan cara mengakses ruang-ruang digitalisasi membuat mereka lebih cepat renew lifestyle tanpa menunggu lagi tayangan film yang memakan waktu lama. Belakangan ini milenial keren mampu mengakselerasi kebudayaan local dengan medernitas untuk menciptakan daya saing lintas negara menggunakan fasilitas teknologi yang ada.