Jangan Bawa Setan!

Abd. Aziz bersama Profesor Hariyono, eks Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Kota Malang/IST
Abd. Aziz bersama Profesor Hariyono, eks Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Kota Malang/IST

Setelah sempat janjian meeting beberapa kali dan tertunda karena satu dan lain hal, akhirnya penulis bersua dengan Profesor Hariyono, eks Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Sabtu (17/5) malam di kawasan Jalan Wilis, Kota Malang. 

Banyak hal dibincangkan dengan akademisi yang dikenal peduli pada bawahan, tak terkecuali Satpam Kampus ini. Penulis mengenal Pak Hariyono, sapaan akrabnya, yang kini menjabat Rektor Universitas Negeri Malang (UM) ini sebagai sosok yang teguh pendirian, dan komitmen kebangsaannya tak diragukan. Inilah alasan utama penulis tertarik berbincang tema serius dengannya.

Mulai bagaimana menjaga integritas agar tak terjerembab dalam masalah hukum, tipologi pemimpin Kampus yang potensial memperkaya diri dan terjaring aparat penegak hukum, hingga tentang seseorang, yang ketika diproses oleh penegak hukum karena perbuatan hukumnya dikualifikasi melanggar hukum, acap kali mengaku khilaf dan  mengkambinghitamkan setan sebagai 'aktor intelektual', penyebabnya. 

Pria kelahiran Malang, 27 Desember 1963, yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial UM ini, sesekali menghela napas panjang. Salah satu yang ia tak habis pikir adalah ketika setan menjadi pihak yang seolah-olah patut dipersalahkan atas segala perbuatan biadab manusia di muka bumi. 

"Padahal, saat melakukan perbuatan (yang) melawan hukum, seperti memperkosa, merampok, korupsi, yang menikmati, ia sendiri. Justru, setan absen, tak hadir. Tapi, bila ketahuan, dalil pertama yang terlontar adalah khilaf karena godaan setan yang terkutuk!" kata mantan Wakil Rektor Bidang Akademik UM, yang dikenal sejarawan politik ini.

Jujur, penulis tak bisa menahan gelak tawa mendengar kritik bernada satire Pak Haryono. Bagaimana tidak, seolah setan diciptakan untuk sekadar melegitimasi perbuatan umat manusia yang dikuasai oleh nafsu angkara murka, kebengisan dan ketamakan.

"Geli, memang menyaksikan alasan demi alasan seseorang yang dikuasai oleh nafsu ketamakan, keserakahan dengan menghalalkan segala cara, yang saat dimintai pertanggungjawaban dengan entengnya mengaku khilaf, dan membawa nama setan sebagai alasan pembenar," respon penulis pada Rektor, yang mulai bertekad melakukan perubahan di Kampus Jalan Semarang ini.

Tak mudah menjaga integritas yang merujuk pada selarasnya pola pikir, pola sikap, dan pola perbuatan. Tetapi, bukan berarti tidak bisa. Dengan tidak menghalalkan segala cara dalam mewujudkan keinginan diri yang tak bertepi, apakah itu jabatan dengan segala prestisius-nya maupun gelimang harta merupakan ikhtiar, dan komitmen menjaga integritas. 

"Pancasilais itu, bukan karena rajin bergiat di padepokan Pancasila. Bukan pula karena berteriak, "Aku Pancasila". Sudah ada contohnya, yang aktif di Rumah Pancasila lalu ditangkap karena melakukan pemufakatan jahat dengan penegak hukum, korupsi. Namun, sikap yang penuh kehati-hatian, dan tak mengambil yang bukan haknya merupakan perwujudan dari pengamalan Pancasila yang sesungguhnya.

Jika kita mau jujur, tak sedikit yang tahu tentang banyak hal tapi mengamalkan sedikit dari yang diketahuinya," ungkap Pak Hariyono sembari mengkritik kehidupan berbangsa saat ini.

"Benar, Prof. Salah satu penyakit utama manusia adalah merasa tahu banyak hal, rajin berbicara kebajikan tapi miskin pengamalan. Satu lagi, merasa senior dengan ukuran pribadinya, duluan lihat matahari. Jika kedewasaan seseorang diukur dari ada dan duluan berproses, maka sesungguhnya, setan dan iblis itu senior-nya senior, lho," tandas penulis sambil tersenyum.

"Nah, soal banyaknya orang yang berbicara kebaikan, bahkan berbusa-busa meyakinkan namun dirinya tak mengamalkan yang diketahuinya, Islam menyindir dengan apa yang disebut Kabura Maqtan. Sebagaimana firman-Nya dalam As-Shaff ayat (3). Singkatnya, murka Allah terhadap orang-orang yang berbicara tapi tidak melakukannya," tambah penulis mengakhiri perbincangan.

Alhasil, apa yang kita tanam hari ini akan dituai kemudian. Tak saja memetik tapi juga memanen. Berhentilah menyalahkan setan untuk membenarkan segala tindak tanduk kita. Karma kerap berada di belakang kita. Membuntuti. Menunggu saat yang tepat untuk menyadarkan. 

Apa yang kita nikmati hari ini hanyalah hak pakai, bukan hak milik. Jangan menghalalkan segala cara, apalagi sampai mati-matian dalam mendapatkannya. Mari meningkatkan kehati-hatian dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air. 

Tak terasa, malam kian larut. Astaga! Ternyata, perbincangan memakan waktu yang tidak singkat. Bayangkan, diskusi mulai pukul 19.00 hingga 11.30 WIB. Empat jam lebih! Maklum, Rektor yang sudah setahun ini tak mengkonsumsi karbohidrat tetapi memperbanyak protein demi kesehatan ini, malam itu tercatat single, lajang: sendirian tak ada keluarga, dan berkurung di rumah dinas Rektor. (R]

Penulis adalah Advokat, Legal Consultant, Mediator Nasional, dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW. Kini, Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK).