Kemendikbud: Perlu Formulasi Baru Untuk Mewariskan Budaya Nusantara ke Generasi Z

Dirjen Kebudayaan Kemendikbud ristek, Hilmar Farid saat di Jember/RMOLJatim
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud ristek, Hilmar Farid saat di Jember/RMOLJatim

Generasi Z atau generasi yang lahir pada tahun 1997-2012, akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 mendatang. Mereka nantinya akan berusia antara 28-33 tahun dan memiliki peranan penting membuat kebijakan Indonesia. Sebab, mereka berada pada usia produktif. Tentunya banyak diantara mereka sudah menduduki jabatan penting mulai dari dunia usaha, politik dan pemerintahan, komunitas dan tokoh masyarakat.


Salah satu karakteristik generasi Z menunjukkan sikap yang lebih terbuka terhadap perbedaan dan keberagaman. Mereka menghargai perbedaan dan tak segan untuk mengamati dunia dari berbagai sudut pandang. Tentunya ini memunculkan kekhawatiran, nilai -nilai kebudayaan Nusantara, yang sudah diwariskan secara turun temurun, terancam tidak diwariskan kepada generasi. 

"Tantangan bagi kita, kalau Generasi Z ini, tidak mengenal budaya kita sendiri, apa yang terjadi nantinya. Karena itu, hari ini menjadi tanggung jawab kita bersama, bahwa budaya yang terjadi turun-temurun bisa diwariskan kepada generasi berikutnya," Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Hilmar Farid, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, sesaat di Jember. 

Namun saat ini muncul perdebatan bagaimana cara mewariskan kepada generasi Z itu, cenderung normatif, tidak aplikatif. Yakni sibuk memberikan pemahaman budaya, tanpa memahami lanskap kebudayaan generasi z. Padahal waktu terus berjalan dan berkembang pesat.

Diketahui, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Hilmar Farid, hadir  dalam kegiatan seminar Revitalisasi Kebudayaan di Hotel Dafam Fortuna Jember, Sabtu, 26 Agustus 2023 sore. Kegiatan tersebut terselenggara atas kerja sama Kemendikbud Ristek dengan Komisi X DPR RI.

Perubahan ini terjadi, karena terjadi perubahan dalam lanskap kebudayaan. Yang menjadi faktor pendorong perubahan itu adalah kemajuan teknologi komunikasi.

"Saat ini, tontonan anak-anak di desa sama dengan yang di kota. Tontonan anak Indonesia, sama dengan tontonan anak yang ada di penjuru dunia lainnya. Dan tidak ada yang bisa mencegah hal ini, kecuali diambil HPnya," katanya. 

Tidak jarang orang tua memaksa anak menyukai tradisi yang sudah dialami dan dijalankan orang tua. Padahal jarak antara masa para orang tua dulu dengan Gen Z sudah terlalu jauh. Gen Z, sudah sangat menguasai Tehnologi informasi dan komunikasi. 

"Yang perlu berubah terlebih dahulu, untuk saat ini sebenarnya adalah kita (para orang tua)," terangnya.

Farid juga menyinggung penggerak seni dan budaya yang cenderung sibuk menggelar diskusi, tetapi jarang turun ke lapangan. Farid juga mengajak seniman dan budayawan memperhatikan kualitas dalam memproduksi sesuatu agar memikat daya tarik yang alami, bukan karena diajak dan atas dasar belas kasihan.

"Sering kali yang dilakukan saat ini tidak memperhatikan kualitas. Lebih banyak memproduksi menghasilkan sesuatu dan mengharap orang menerima, melihat dan mau menonton konten yang dimiliki, dengan dasar belas kasihan," katanya. 

Dengan memperhatikan kualitas, lanjutnya maka hasil produksinya akan mampu bersaing dengan negara lain, seperti Korea Selatan. 

Lebih jauh, Farid mengimbau agar budayawan dan seniman mencari relevansi nilai-nilai kebudayaan dengan perkembangan teknologi informasi. Sebab, salah satu hal yang berpengaruh besar terhadap perubahan adalah teknologi informasi.

Selama masih ada Gap antara keinginan orang tua dengan Gen Z, kebudayaan Indonesia akan sulit mengejar perkembangan kebudayaan negara lain. Salah satunya, kebudayaan Korea Selatan yang saat ini banyak dinikmati Gen Z di Indonesia.

Cara menonton Gen Z, sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Kalau generasi terdahulu masih sabar menonton televisi, sambil menon iklan. Saat ini sudah berubah, mereka bisa menonton video dari HP. Bahkan Gem Z ini, bisa berpartisipasi memproduksi video budaya sendiri, bisa dengan saluran YouTube dan Tiktok. 

"Revitalisasi budaya tidak bisa dilakukan dengan partisipasi satu arah. Harus mengarahkan Gen Z dengan teknologi informasi agar menemukan relevansi. Ketika menemukan relevansi teknologi informasi dengan kebudayaan, itu akan dijadikan motivasi," terangnya.

Anggota Komisi X DPR RI, H. Muhamad Nur Purnamasidi mengatakan, negara harus merumuskan langkah untuk menjawab kebutuhan Gen Z. Sebab, saat telah terjadi gab kebudayaan antara generasi sebelumnya . Karena gab kebudayaan ini,  membuat karakter bangsa akan menjadi tidak jelas. 

"Dengan  rumusan itu, Gen Z akan  memiliki gambaran secara mandiri terkait kebudayaan yang ingin dikembangkan di masa yang akan datang," katanya.

Tentunya, negara juga harus memberikan ruang mengapresiasi kreativitas bagi Gen Z. Gen Z sudah tidak bisa lagi dipaksa melakukan hal yang identik dengan perilaku para orang tua. Karena generasi yang saat ini sudah berusia 11-26 tahun itu, sudah memiliki referensi yang berbeda, yakni terpusat pada teknologi. Tugas orang adalah dengan melakukan transformasi nilai kebudayaan dengan memanfaatkan teknologi yang menjadi sumber referensi Gen Z.

Jika generasi orang tua menerapkan nilai kesopanan dengan cara mencium tangan orang yang lebih tua. Maka, Gen Z tidak harus dipaksakan melakukan hal yang sama.

Sebab, nilai kesopanan masih bisa dilakukan, salah satunya dengan cara minimal tidak berkata kasar kepada orang yang lebih tua.

"Standar nilai ini harus dikompromikan. Sehingga saat Gen Z memproduksi sesuatu tidak merasa melanggar nilai," ujar legislator Partai Golkar Dapil Jember Lumajang ini.

Dia mencontohkan jika ada Gen Z yang menampilkan Tarian Reog dengan konsep yang berbeda, harus diterima sebagai sebuah kreativitas. Pihaknya hanya perlu memastikan nilai yang terkandung di dalamnya masih tetap ada.