Menghidupkan Publik pada Pentas Kontestasi Politik

Ilustrasi Pemilihan Umum (Pemilu)/RMOL
Ilustrasi Pemilihan Umum (Pemilu)/RMOL

HILANG! Keberadaan publik tenggelam dalam hiruk pikuk akrobat aktor di tahun politik. 

Terma akrobatik dipergunakan Vedi R Hadiz (Kompas, 5/9) “Musim Akrobat Politik”, untuk menerangkan perilaku elite. Sulit dipahami, meski mudah ditebak, karena bermuara pada perebutan kekuasaan.

Politik kehilangan makna dasarnya, sebagai sarana dalam menjawab problematika kehidupan publik. Persis sebagaimana Tempo, (9/9) “Para Blantik dalam Politik Elektoral” menyebut situasi politik domestik layaknya pasar dagang sapi, para blantik menentukan nilai dan hewan yang diperjualbelikan.

Apa yang bisa dibaca dari arah politik kekinian, dalam konteks koalisi serta kotestasi? Hal fundamental dalam politik mengajarkan bila, tidak tidak ada lawan yang abadi, melainkan kepentingan sejati.

Pada titik tersebut, kekuasaan adalah batas kompromi, sekaligus menjadi tujuan, bukan lagi sekedar sarana.

Karena itu, ajakan BEM UI, (14/9) untuk melakukan debat kandidat yang akan maju di ruang politik, patut diapresiasi serta menjadi sebuah oase dalam mendiskusikan gagasan. Kita tidak lagi berbicara publik sebagai kuantitas suara, melainkan menempatkan kepentingan publik lebih dari nafsu kuasa.

Sudah lama akademisi dan kaum cerdik pandai di negeri ini seakan lenyap di telan bumi. Kesibukan para intelektual pada kehidupan domestik, mengejar jabatan internal, berlomba menjadi guru besar, termasuk menambah berbagai gelar akademik, yang juga diobral kepada elite politik, teramat suram.

Ruang kebebasan mimbar akademik hilang. Kelompok masyarakat sipil yang menjadi penyeimbang, dengan memberikan suara berbeda dari arus utama, terlihat redup nan sayup. Narasi bagi kepentingan publik, seakan hilang di rimba pertengkaran politik tingkat tinggi, berisi konspirasi dan manipulasi.

Tidak mengherankan, bila produk regulasi yang dihasilkan dari para wakil rakyat, justru berseberangan dengan hajat pihak yang diwakilkan. Sebut semisal UU Omnibus Cipta Kerja, yang disebut melindungi kepentingan publik, justru ditentang secara luas oleh tenaga kerja itu sendiri. Kontradiktif.

Politik memang merupakan seni kemungkinan, fokusnya pada kursi kekuasaan. Dengan begitu, koalisi mudah dibangun atas dasar pragmatisme, jauh dari aspek idealisme, apalagi perspektif ideologi. Para tokoh politik berpikir mengenai eksistensi diri, menjurus narsisme, mengalami kedangkalan substansi.

Pada realitanya, kita telah mengada -being dengan pondasi bersama dalam bangunan negara bangsa, dan seiring perguliran waktu kita perlu berproses menjadi -becoming wadah hidup bagi perwujudan harapan publik sebagai esensi pokok, menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas kesejahteraan umum.

Lantas bagaimana menghidupkan kembali publik? Penguatan peran kelompok sipil dari seluruh elemen masyarakat menjadi penting, termasuk mendorong partisipasi aktif para ilmuwan, mereka yang berpunya pengetahuan harus menjadi sumber terang bagi khalayak luas, bukan bagi dirinya sendiri.

Keterlepasan isu publik dari hingar bingar politik elite, memang begitu perilakunya. Publik di-setting menjadi khalayak pasif, dieksploitasi sebagai sumber suara, para aktor seolah memiliki legitimasi dalam pengatasnamaan. Publik lalu larut terlibat pertikaian perebutan daging kekuasaan yang telah koyak.

Ketidakmampuan publik untuk keluar dari kehebohan politik tersebut, dikarenakan terdominasi, mengalami hegemoni. Dengan begitu, upaya untuk membangkitkan kesadaran mengenai apa yang menjadi hal pokok dari kepentingan publik, wajib disuarakan, ketimbang ikut dalam keterbelahan.

Kuasa politik, berbicara tentang kenikmatan tidak terbagi. Padahal, kehidupan bersama harus mampu melampaui imajinasi terbaik dari apa yang dapat dibayangkan secara luas.

Terutama memastikan harapan bagi mereka yang tersisih, terhimpit serta sesak karena menghirup pekatnya polusi. Ruang politik kita memang telah terkontaminasi cemaran berbahaya.

Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid