Meminimalisir Wartawan Abal-Abal

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

BELUM lama ini sebuah unggahan video terkait profesi wartawan dan viral. 

Tampak dalam video itu, beberapa lelaki yang menyatakan diri sebagai wartawan kecewa lantaran Kepala desa Kronjo Kabupaten Tangerang, memberi amplop berisi uang “hanya” sepuluh ribu rupiah sebagai ucapan terima kasih usai meliput acara Musrenbangdes di Desa Kronjo.

Setelah merasa direndahkan, mereka membuat aksi solidaritas. Tampak dalam video aksi yang viral, seorang pria yang diduga sebagai koordinator menyatakan merasa terpukul, gara-gara teman mereka yang hanya mendapat amplop ucapan terima kasih berisi uang sepuluh ribu rupiah.

Tidak berselang lama, pada kamis (21/9) Tiga orang yang mengaku sebagai wartawan dari media online ditangkap massa dan diarak ke balai desa di Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Brebes Jawa Tengah. Karena mengancam dan memeras para petani.

Tampaknya kartu pers untuk sebagian wartawan merupakan senjata lebih ampuh ketimbang kemampuan profesionalnya.

Wartawan Abal-abal

Media massa dan wartawan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Media massa dan wartawan yang tidak mengedepankan kode etik jurnalistik (KEJ) mencoreng profesi jurnalis dan cenderung melanggar hukum sehingga muncul stigma negatif ditengah masyarakat terhadap profesi wartawan.

Fenomena munculnya wartawan abal abal ini mengutip Jurnal Selat dikarenakan adanya celah hukum pada peraturan terkait pendirian media massa. Bahkan UU no. 40 tahun 1999 tentang pers sendiri membuka ruang kepada siapa saja untuk mendirikan perusahaan pers, namun tidak mewajibkan untuk meningkatkan kapasitas. 

UU pers juga tidak mengatur syarat pendidikan bagi wartawan, melainkan hal tersebut diserahkan kepada perusahaan pers. Regulasi pers dan terkait verifikasi media massa dan uji kompetensi wartawan hanya berlaku bagi yang mendaftar di Dewan Pers. Kondisi tersebut menyebabkan pertumbuhan media massa, khususnya media siber tidak terkendali. Bahkan aktivitas wartawan yang tidak profesional cenderung melanggar prinsip-prinsip kemerdekaan pers.

Platform online mendorong banyak orang untuk membuat media dangan pertimbangan sederhana, mudah dan murah. Orang yang tidak punya pengalaman jurnalistik. Tiba-tiba membuat media dan menempatkan dirinya sebagai pemimpin redaksi dan membuat struktur organisasi sesukanya. Mereka lalu mempekerjakan orang-orang yang mau dijadikan alat untuk mencapai tujuan perusahaan media abal-abal tersebut, tanpa tahu apalagi mengenalkan kode etik maupun mengajarkan tehnik-tehnik dalam praktik jurnalistik. Dari sini regenerasi media dan jurnalis abal abal terus tumbuh.

Wartawan merupakan profesi terbuka. Profesi itu terbuka bak tanpa pagar. Profesi itu dapat dimasuki siapa saja dengan disiplin ilmu bermacam-macam. Karena itulah mungkin profesi wartawan semakin diminati banyak orang karena gampang meraihnya dan dianggap paling mudah untuk mencari penghasilan dengan segala eksesnya. Tanpa pendidikan pers, siapa saja bisa mendirikan penerbitan pers, mengangkat diri menjadi wartawan dengan mencetak kartu pers dan  kartu nama.

Sudah waktunya Dewan Pers maupun perusahaan pers untuk meminimalisir wartawan abal-abal ini, mewajibkan wartawannya untuk Uji kompetensi wartawan (UKW). Karena kemerdekaan pers yang sesungguhnya adalah kemerdekaan pers yang bertanggung jawab. Sudah kompeten di bidangnya itu salah satunya.

Penulis merupakan wartawan RMOLJatim