TRETES, daerah yang dahulu menjadi salah satu kebanggaan wisata Kabupaten Pasuruan, kini menghadirkan pemandangan yang jauh dari membanggakan. Pegunungan sejuk, hutan pinus, dan udara bersih yang menjadi alasan wisatawan datang, perlahan-lahan tertutup kabut kelam praktik prostitusi yang berkembang pesat di balik gemerlap vila-vila mewah dan penginapan murahan. Tretes kini lebih dikenal sebagai sarang prostitusi dibanding destinasi wisata keluarga. Dan perubahan wajah ini bukan terjadi dalam semalam; ia tumbuh perlahan, dibiarkan merajalela, dan kini seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut ekonomi lokal.
Prostitusi Sebagai Industri Hitam
Praktik prostitusi di Tretes bukan lagi perkara individu yang mencari penghidupan gelap, melainkan telah bermetamorfosis menjadi industri hitam yang terorganisasi dengan rapi. Para perempuan yang terlibat, muncikari yang mengendalikan, pemilik vila yang menyewakan tempat, bahkan jaringan transportasi lokal, semua berkelindan dalam ekosistem tak kasat mata ini. Segalanya tampak berjalan sistematis. Tak perlu papan nama atau promosi terbuka, cukup lewat jaringan mulut ke mulut, aplikasi pesan instan, dan sistem reservasi terselubung, industri ini bergulir lancar tanpa hambatan berarti.
Semua berjalan seperti orkestra, di mana setiap pihak memainkan perannya masing-masing. Dari perempuan muda yang dijual sebagai "talent" hingga jaringan pemasok pelanggan yang tersebar di berbagai lapisan sosial, semua bergerak dalam diam. Dan dalam keheningan itulah, ekonomi gelap Tretes terus berdetak, menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit bagi para pelaku utamanya.
Peran Aparat dan Pembiaran Sistemik
Razia-razia memang kerap digelar. Berita-berita penangkapan sesekali muncul di media. Tapi semua itu lebih sering tampil sebagai pertunjukan daripada upaya serius pemberantasan. Operasi yang dilakukan hanya menyentuh permukaan, menangkap beberapa perempuan pekerja seks jalanan, lalu dengan bangga dipublikasikan seolah-olah telah menumpas kejahatan besar. Padahal, dalang-dalang utama tetap bebas berkeliaran, menikmati hasil kotor mereka.
Dalam banyak kasus, tidak sulit menemukan indikasi keterlibatan oknum aparat dalam melanggengkan praktik ini. Entah sebagai penerima setoran, pelindung bisnis gelap, atau bahkan sebagai pengguna jasa. Pembiaran sistemik ini membuat prostitusi di Tretes seperti benalu yang terus tumbuh subur, tanpa ada upaya nyata untuk mencabut akarnya.
Ketika aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum malah menikmati keuntungan dari kejahatan, jangan heran jika keadilan hanya menjadi ilusi. Bagi masyarakat Tretes, hukum seperti barang mewah yang tak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah mereka.
Korban dalam Lingkaran Setan
Tidak semua perempuan yang terjun ke dalam dunia prostitusi di Tretes melakukannya dengan suka rela. Banyak dari mereka adalah korban dari kemiskinan, tipu daya, bahkan perdagangan manusia. Mereka dijebak dengan janji pekerjaan layak, lalu setelah tiba di Tretes, dipaksa melayani pelanggan demi melunasi "utang" yang dibuat-buat.
Lebih menyakitkan, banyak perempuan muda, bahkan anak di bawah umur, yang terjerat dalam bisnis kotor ini. Tubuh mereka dijual lebih mahal dengan dalih "masih muda". Ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa. Ini adalah kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang, tragisnya, terjadi setiap hari di depan mata kita.
Setelah masuk ke dalam lingkaran ini, keluar bukanlah perkara mudah. Ancaman kekerasan, ketergantungan ekonomi, hingga tekanan psikologis membuat banyak dari mereka memilih bertahan. Mereka bukan hanya kehilangan kebebasan, tetapi juga harga diri, masa depan, dan kadang-kadang bahkan nyawa mereka.
Dampak Sosial yang Merusak
Prostitusi di Tretes tidak hanya menghancurkan individu yang terlibat langsung, tetapi juga menimbulkan dampak sosial yang luas. Pariwisata keluarga mulai luntur, karena wisatawan yang membawa anak-anak mulai menghindari kawasan ini. Kawasan yang dulu menjadi tempat pelarian dari kepenatan kota, kini dipandang dengan sinis dan curiga.
Masyarakat lokal pun terpecah. Ada yang menolak keras kehadiran industri ini, ada yang pasrah, dan ada pula yang justru diuntungkan secara ekonomi. Para sopir ojek, penjaga vila, hingga penjual makanan malam mendapat pemasukan dari pelanggan prostitusi. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, moralitas menjadi komoditas pertama yang dikorbankan.
Ketika sebuah masyarakat mulai menganggap kejahatan sebagai "kewajaran", maka kehancuran sosial tinggal menunggu waktu. Dan sayangnya, Tretes tampaknya sudah sangat dekat dengan titik itu.
Teknologi Mempermudah Kejahatan
Kemajuan teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk kemajuan, malah menjadi pedang bermata dua di Tretes. Aplikasi pesan instan dan media sosial digunakan untuk memudahkan transaksi prostitusi. Tidak perlu lagi berkeliaran di jalanan. Cukup dengan beberapa klik, pelanggan dapat memesan "layanan" lengkap, bahkan memilih berdasarkan katalog foto yang dibagikan diam-diam.
Teknologi mempercepat dan mempermudah prostitusi tersembunyi, membuat praktik ini semakin sulit diberantas. Transaksi berlangsung privat, pengantaran dilakukan sembunyi-sembunyi, dan pembayaran melalui transfer digital, membuat bukti-bukti fisik semakin minim. Ini adalah prostitusi gaya baru, canggih, licin, dan berbahaya.
Tanpa adaptasi serius dari aparat penegak hukum, teknologi akan terus menjadi senjata yang memperkuat industri hitam ini. Dan saat itu terjadi, tidak ada satu pun razia tradisional yang akan cukup efektif menghentikannya.
Mengembalikan Tretes ke Jalan yang Benar
Masih adakah harapan bagi Tretes? Tentu ada, selama ada keberanian politik dan kemauan kolektif untuk berubah. Upaya pemberantasan prostitusi harus dilakukan dari akar. Bukan hanya menangkap perempuan pekerja, tapi juga membongkar jaringan muncikari, menindak tegas pemilik vila nakal, dan yang paling penting, membersihkan aparat yang bermain mata dengan kejahatan ini.
Pemerintah daerah harus menetapkan regulasi ketat atas penggunaan vila dan penginapan. Setiap vila harus diwajibkan mencatat tamu dengan identitas resmi, membatasi jumlah penghuni, serta diawasi secara rutin. Sanksi bagi pelanggaran harus berat dan tidak pandang bulu, bahkan sampai pada pencabutan izin usaha.
Selain tindakan keras, perlu juga dibangun program rehabilitasi sosial bagi para perempuan korban prostitusi. Pelatihan keterampilan, bantuan modal usaha, dan jaminan perlindungan hukum harus diberikan untuk membantu mereka membangun kembali hidup yang layak. Tanpa ini, upaya pemberantasan hanya akan menciptakan siklus baru: perempuan-perempuan lama digantikan oleh yang baru, dan masalah tetap tak pernah selesai.
Menolak Menyerah pada Kejahatan
Di tengah pesimisme yang membalut Tretes, penting untuk menegaskan bahwa prostitusi bukanlah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan modern. Ia bukan "keniscayaan sosial" yang harus diterima dengan pasrah. Prostitusi adalah penyakit sosial yang bisa dan harus dilawan.
Menolak prostitusi bukan soal moralitas kosong. Ini adalah soal hak asasi manusia, soal keadilan, soal masa depan generasi muda. Membiarkan prostitusi berkembang sama saja dengan membiarkan perbudakan modern berjalan di tanah yang seharusnya subur bagi keadilan.
Jika bangsa ini masih memiliki seberkas nyali untuk memperbaiki diri, maka Tretes harus dijadikan medan tempur untuk membuktikan itu. Pertarungan ini memang sulit, penuh rintangan, bahkan berisiko. Tapi tidak bertindak jauh lebih berbahaya: itu berarti menyerahkan masa depan anak-anak kita kepada industri kotor yang hanya mengerti satu hal: mengeksploitasi tubuh manusia demi uang.
Penutup
Tretes hari ini bukan sekadar masalah lokal Pasuruan. Ia adalah cermin retak dari bangsa ini: tentang bagaimana kita memperlakukan perempuan, tentang sejauh mana kita membiarkan uang mengalahkan prinsip, tentang sejauh mana kita siap menukar masa depan demi keuntungan sesaat.
Kalau kita membiarkan prostitusi terus merajalela di Tretes, jangan heran jika suatu saat seluruh negeri ini menjadi "Tretes raksasa", di mana nilai-nilai luhur hanya tinggal slogan kosong di dinding, dan manusia hanya dipandang sebatas harga jual tubuhnya.
Saat ini, pilihan masih ada. Kita bisa berjuang. Atau kita bisa menyerah. Selebihnya, sejarah yang akan mencatat: di sisi mana kita berdiri.
* Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis
ikuti terus update berita rmoljatim di google news