Maulid Nabi dan Revolusi Akhlak

Nur Khalis/Ist
Nur Khalis/Ist

Nabi Muhammad SAW sebagai potret insan kamil pilihan terbaik yang diberikan mandataris risalah dari Allah SWT. Menjadi rasul-Nya untuk menjadi teladan terbaik bagi kehidupan manusia.

Maulid Nabi  (hari kelahirannya) 12 Robi’ul Awal yang dieskpresikan dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan oleh umat Islam seluruh dunia baik dengan tradisi kegiatan pembacaan shalawat, pengajian keagamaan dan keislaman di masjid dan surau-surau di penjuru desa-desa dan pelosok, dan berbagai ekspresi keagamaan lainnya.

Dari semua itu yang terpenting bukan upacaranya karena itu hanya tirai belaka,  melainkan spirit dan substansi pencerahan moral, mental, dan spiritual sebagai miniatur pemimpin keteladanan yang monumental sepanjang sejarah umat manusia dengan visi masa depan yang mencerahkan.

Secara substansial, perayaan maulid Nabi SAW disamping sebagai simbol kecintaan kepada Nabi, Maulid Nabi adalah sebagai upaya untuk mengenal keteladanan Nabi Muhammad sebagai pembawa ajaran Islam. Tercatat dalam sejarah kehidupan, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.

Narasi Maulid Nabi seyogyanya tidak bergeser dari akar sejarahnya, bahwa kelahiran Nabi Muhammad adalah dalam rangka menunjukkan jalan kebenaran, memperbaiki dan menyempurnakan akhlak dan menjadi rahmat bagi alam semesta, sebagaimana hadits nabi: (innama buistu liutammima makarimal akhlak; sesungguhnya aku (Muhammad) diutus dalam kerangka memperbaiki akhlak). Dalam Al Quran Allah juga berfirman: wama arsalnaaka illa rohmatan lilalamin; tiada kami (Allah ) mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk membawa rahmat bagi alam semesta.

Revolusi Akhlak

Dalam konteks beragama, narasi akhlak  menempati kedudukan sangat sentral dan istimewa, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Rosulullah pada suatu hari saat ditanya apakah agama itu ya RQosulullah? Beliau menjawab; (agama itu) akhlak yang baik. Dengan demikian beragama tanpa akhlak tidak akan pernah menemukan kesempurnaannya.

Michael H Hart dalam sebuah karyanya, The 100 A Ranking of The Most Influential Person in history  (100 tokoh berpengaruh di dunia) menempatkan Nabi Muhammad sebagai orang nomor satu paling berpengaruh di dunia karena faktor keluhuran akhlak, ucapan, prilaku dan tindak tanduknya menjadi pengetahuan dan menjadi rujukan prilaku umat. Dari mulai menjelang tidur sampai bangun tidur semuanya dihiasi dan prilaku akhlak yang baik.

Secara sosiologis, Nabi Muhammad manusia sempurna dan paling berpengaruh di dunia. Nabi Muhammad menjadi teladan bagi siapapun, baik menjadi teladan  bagi orang miskin, orang kaya, teladan dalam penghormatan kepada perempuan bahkan teladan sempurna bagi penguasa dan pemimpin.

Fakta keluhuran akhlak Nabi ditegaskan dalam siroh nabawiyah bahwa  dikisahkan saat Nabi Muhammad berkuasa dan melakukan Fathu Mekkah dengan 15 ribu pasukan bergerak dari Madinah ke Mekkah dan kemudian menguasai Mekkah seluruhnya tanpa ada pertumpahan darah setetespun lalu apa yang disampaikan Nabi Muhammad yang sangat fenomenal sebagai seorang penguasa dan pemimpin: Hadza laisa yaumal malhamah walakinna Hadza  yaumul malhamah, wa antum thulaqo (hari ini bukan hari pembantaian melainkan hari kasih sayang dan kalian semua dimaafkan untuk kembali ke keluarga masing-masing). Inilah revolusi tanpa pertumbahan darah setetespun.

Rasulullah Muhammad SAW adalah sosok pemimpin yang sangat berwibawa, namun kewibawaannya tidaklah terbentuk dari kekuasaan dan kekuatan yang menakutkan orang. Kewibawaannya lahir dari wujud prilakunya yang agung dan menawan.

Perilaku yang demikian ditegaskan dalam sabdanya; sesungguhnya kalian tidak dapat menarik hati manusia dengan harga kalian, akan tetapi kalian dapat menarik hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia (HR. Hakim).

Kepemimpinan Ideal

Dalam konteks kekinian, peran intelektual organik dan  ulama diharapkan terus menerus mendorong pemahaman Islam rahmatan lil alamin yang mengajarkan perdamaian, kerukunan, dan persatuan sebagai edukasi keagamaan dalam bangsa yang multikutural.

Selain memberikan afirmasi tentang pentingnya persaudaraan antar umat (ukhuwah islamiyah) dan antar manusia (ukhuwah basyariah), Islam juga memberikan perhatian yang lebih tentang pentingnya persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniah) .

Kesadaran berbangsa dan bernegara selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama yang melahirkan dan menyatukan spirit kebangsaan dan nasionalisme. Dari sinilah peringatan maulid Nabi perlu dijadikan sebagai momentum untuk meneguhkan nilai-nilai kebersamaan bagi dinamisasi nilai-nilai keadaban.

Perenungan dan aktualisasi keteladanan profetik dari spirit kelahiran Nabi Muhammad yang dikenal sebagai pilihan Tuhan dan memiliki sikap mulia, yaitu kejujuran, amanah, mempunyai kecerdasan  dan transformative. Nilai-nilai kejujuran, moralitas, kesederhanaan, egaliliter, semangat juang, optimisme hingga teladan kepemimpinan menyatu dalam diri Nabi

Kepemimpinan ideal yang telah dicontohkan oleh nabi hendaknya menjadi rujukan dalam visi kepemimpinan ideal kedepan. Kepemimpinan yang dibangun oleh Nabi Muhammad baik sebelum diangkat menjadi rosul atau sesudah mendapatkan risalah kerasulan baik ketika di Yastrib atau Madinah maupun Mekkah selalu berlandaskan nilai-nilai egalitarian tanpa egoisme. Kepemimpinan yang dibangus atas egoisme akan berhadapan dengan kenyataan kepemimpinan yang lebih mengandalkan tindakan represif ketimbang mengedepankan cara-cara humanis-persuasif yang kehendak kuasanya akan terkoptasi oleh kepentingan kelompok semata

 Kepemimpian yang dibangun diatas nilai-nilai egoisme akan melahirkan kejahatan struktural yang di dalamnya berkelindan permainan kekuasaan, ambisi, amoralitas, penyalahgunaan wewenang, dan berakar pada apa yang disebut filsuf Nietzsche sebagai kehendak berkuasa.

Belajar dari kepemimpinan Nabi, seorang pemimpin mestinya harus mempunyai kemampuan membaca, mengartikulasikan, dan merealisasikan bahasa batin rakyat yang dipimpinnya. Posisinya juga harus selalu hadir di tengah-tengah rakyatnya. Sebab, hanya dengan cara tersebut sebagai wasilah untuk dapat melebur bersama rakyat yang telah memilihnya.

Sejarah telah memberikan ilustrasi dan membuktikan, betapa banyak pemimpin yang terjebak manisnya kekuasaan, sehingga mereka lupa terhadap amanat dan tugas kepemimpinan yang diembankan kepadanya. Mereka selalu absen dari suara batin rakyat yang dulu sangat peka didengarnya. Ketika pemimpin sudah tidak mampu menahan godaan dan nafsu syaithoniyah yang mengitarinya, maka dengan mudah akan menggunakan kekuasaannya sebagai senjata ampuh untuk menindas rakyat dan lawan politiknya, serta berusaha mengibarkan panji-panji otoritarianisme.

Orientasi Bangsa ini kedepan membutuhkan pemimpin sejati yang bisa merangkul bukan memukul. Bukan pemimpin yang hanya pintar bernarasi dan beretorika tanpa fakta. Tapi pemimpin yang mampu memberikan keteladanan dalam ucapan dan prilakunya, pemimpin yang mau mendengar segala keluh-kesah rakyatnya. Bukan pemimpin yang sibuk dengan kepentingan golongan dan orientasi politik partisan sesaat, tapi pemimpin yang sadar bahwa hidupnya mempunyai tanggung jawab pribadi-sosial di dunia dan di akhirat.

Maka Spirit Menghidupkan nilai-nilai Maulid Nabi bagi Umat Islam sebagai bentuk komitmen yang kuat untuk menghadirkan keteladanan Nabi sebagai pemimpin dengan visi Islam rahmatan lilalamin. Bahkan amanah dan tanggung jawab dan kecintaan kepada umatnya sampai menjelang  hembusan nafas terakhirnya yang terucap dari lisannya: Ummati... ummati.... ummati... (umatku...umatku...umatku).

Allahumma sholli wasallim wabarik Ala Syayyidina Muhammad waala alihi washohbihi ajmain.

*Ketua Satkar Ulama Surabaya

ikuti terus update berita rmoljatim di google news