Dari Negara Hukum ke Negara Hakim

Roslinormansyah/Ist
Roslinormansyah/Ist

SAAT ini kita berada dalam situasi rawan secara perundangan kepemiluan setelah begitu mudah pasal pembatasan usia di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU 7/2017) ditambah oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dari frasa Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang semula berbunyi ''Berusia paling rendah 40 (empat puluh tahun)'' diubah oleh MK menjadi ''Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah''.

Penambahan frasa ''..atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'' tentu tertuju pada situasi politik mutakhir menjelang pendaftaran pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ke Kantor Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu, 25 Oktober 2023. Sedangkan Putusan MK dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada 16 Oktober 2023.

Jika disimak seksama Pasal 169 huruf q UU 7/2017, maka kita bisa mengetahui bahwa ketentuan itu berkait pada batas usia. Penambahan frasa yang dilakukan MK melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentu saja mengubah ketentuan usia yang sudah terang-benderang itu menjadi setara dengan ''pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah''.

Dalam berbagai media disebut, alasan utama penambahan frasa itu dikarenakan jabatan yang dimaksud juga diperoleh melalui proses pemilihan umum, bukan penunjukan langsung. Proses yang sama untuk jabatan presiden dan wakil presiden. Oleh karena sama-sama melalui proses pemilihan langsung, maka proses ini menjadi justifikasi MK untuk menyetarakannya pada batasan usia. Lalu, ditambah dengan alasan ''pintu masuk'' bagi warga negara untuk berkontestasi di ranah kepresidenan.

Padahal, pertama, hasil kontestasi kepresidenan tidaklah bisa disamakan dengan hasil kontestasi untuk DPR, DPRD, DPD atau pemilihan kepala daerah. Meskipun, proses dalam kontestasi itu sama, yakni sama-sama dipilih langsung. Kontestasi kepresidenan menghasilkan puncak eksekutif yang mewakili bangsa dan negara di ranah internasional. Sedangkan, kontestasi DPR, DPRD dan DPD menghasilkan wakil yang masih berada dalam lingkup bangsa, bukan mewakili bangsa. Idem ditto dengan hasil kontestasi pemilihan kepala daerah.

Kedua, ada kekhususan yang harus dimiliki aturan yang mengatur puncak eksekutif sebagai representasi bangsa. Sehingga berlaku prinsip hukum ''lex specialis derogat legi generali''. Maka, ketentuan batas usia berada dalam ranah ''lex specialis'' tersebut meski punya kesamaan proses pemilihannya yang merupakan ''lex generali'', yakni pemilihan langsung.

Ketiga, dan ini yang paling parah. Putusan MK di atas telah mengubah pondasi dasar ketatanegaraan yang sesungguhnya telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Di dalam negara hukum, pembuat perundangan untuk penyelenggaraan kekuasaan serta pemerintahan adalah pemerintah dan DPR.

Pasal 20 ayat 1 UUD 1945 secara tegas disebut, bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Artinya, pembuatan undang-undang bukan menjadi ranah MK, sedangkan penambahan frasa yang telah dilakukan MK justru membuat regulasi baru. Sehingga MK berpotensi telah mengubah Indonesia dari negara hukum menjadi negara hakim.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka, Pasuruan