Deklarasi Pemilu Aman, Forum Pimpinan Perguruan Tinggi di Tasikmalaya Tolak Provokasi Demokrasi

Forum Pimpinan Perguruan Tinggi di Tasikmalaya saat deklarasi pemilu damai/RMOLJabar
Forum Pimpinan Perguruan Tinggi di Tasikmalaya saat deklarasi pemilu damai/RMOLJabar

Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Tasikmalaya menyerukan pemilu aman dan damai. Dalam pernyataan sikapnya, Rabu (7/2),  sejumlah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta menolak segala bentuk upaya provokasi yang dapat memecah belah persaudaraan serta tindakan yang mencederai pesta demokrasi di Indonesia. 


Deklarasi Pemilu 2024 aman dan damai tersebut dihadiri sejumlah perwakilan perguruan tinggi seperti STHG, Uncip, Unper, Universitas BTH, INU, Umtas, STIE Latifah, STIA YPPT, dan STIE Suryalaya Tasikmalaya.

Deklarasi yang digelar di Hotel Santika tersebut berisi 5 poin. Yaitu mengajak segenap komponen bangsa untuk menyukseskan Pemilu 2024 yang aman dan damai. Kemudian, menolak segala bentuk upaya provokasi yang dapat memecah belah persaudaraan serta tindakan yang mencederai pesta demokrasi.

Lalu, bersama-sama menangkal berita hoax dan ujaran kebencian yang dapat mengganggu jalannya Pemilu 2024. Selanjutnya, warga negara yang mempunyai hak pilih agar menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nurani, dan tidak golput. Dan harus menghargai perbedaan pilihan setiap orang.

Terakhir, kampus bukan tempat memecah belah. Sebaliknya, kampus menjaga kondusivitas dan turut memberikan edukasi kepada komponen bangsa demi terciptanya pemilu yang jujur, adil, aman, dan damai.

Direktur Pascasarjana STHG Kota Tasikmalaya, Nana Sugiana mengatakan, jajaran rektor di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya sepakat mendorong Pemilu 2024 berjalan aman dan damai.

"Kita sebagai kekuatan moral untuk memberikan suatu gambaran kepada masyarakat jangan sampai dengan adanya pemilu ini persatuan dan kesatuan terganggu dan terpecah belah," kata Nana Sugiana, dikutip Kantor Berita RMOLJabar, Rabu (7/2).

Nana juga menegaskan, kampus bukanlah tempat pemecah belah bangsa.

"Jadi kita ini berangkat dari kekhawatiran terhadap situasi saat ini. Ada kekhawatiran kondisi di mana suatu gesekan bisa terjadi di masyarakat," ucap dia.

Lebih lanjut Nana menuturkan, hal tersebut memang suatu konsekuensi sebagai negara demokrasi, bahwa yang namanya pemilu sebagai amanat konstitusi harus dilaksanakan dalam waktu 5 tahun sekali.

"Ini merupakan kewajiban konstitusional, maka sudah barang tentu jangan sampai amanat itu berdampak pada persatuan kita," tutup Nana.


ikuti update rmoljatim di google news