Indonesia Punya 20 Cekungan Migas dengan Potensi Karbon Jumbo

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Hulu migas Indonesia mempunyai potensi penyimpanan karbon yang sangat menjanjikan


Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan, ada 20 cekungan yang menyimpan potensi karbon yang sangat besar dan menjanjikan.

Menurutnya, hal itu didapatkan berdasar hasil penelitian tim dari Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS Kementerian ESDM.

"Dari penelitian tim LEMIGAS Ditjen Migas, didapatkan data potensi besar penyimpanan karbon saline aquifer sebesar 572,77 giga ton, kemudian potensi depleted oil dan gas reservoirs sebesar 4.85 giga ton," terang Tutuka pada acara puncak Bulan K3 Nasional Subsektor Migas di Kantor LEMIGAS Jakarta, yang dikutip Jumat (23/2).

Ia menegaskan, data tersebut akan berkembang dan akan menjadi perhatian pihaknya untuk terus memperbaharui data terkait potensi penyimpanan karbon.

Saat ini Indonesia memiliki 128 cekungan migas, dan yang sudah diteliti baru 20 cekungan yang berproduksi.

"Dari 128 cekungan itu, masih ada 27 cekungan discovery dan selebihnya prospektif yang belum dieksplorasi," tutur Tutuka.

Adapun potensi penyimpanan karbon saline aquifer berada pada cekungan sebagai berikut:

1. Cekungan North East Java sebesar 100,83 giga ton

2. Tarakan 91,92 giga ton

3. North Sumatera 53,34 giga ton

4. Makassar Strait 50,7 giga ton

5. Central Sumatera 43,54 giga ton

6. Kutai 43 giga ton

7. Banggai 40,31 giga ton

8. South Sumatera 39,69 giga ton

9. Kendeng 30,64 giga ton

10. West Natuna 13,15 giga ton

11. Barito 12,05 giga ton

12. Seram 11,58 giga ton

13. Pasir 10,36 giga ton

14. Salawati 8,75 giga ton

15. West Java 7,22 giga ton

16. Sunda Asri 6,52 giga ton

17. Sengkang 4,31 giga ton

18. Bintuni 2,13 giga ton

19. North Serayu 1,55 giga ton dan

20. Bawean 1,16 giga ton.

Karbon lintas batas ke negara lain atau cross border kemungkinan akan terjadi setelah penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.

Tutuka menjelaskan bahwa kapasitas domestik untuk penyimpanan karbon tetap menjadi prioritas utama, dengan besaran 70 persen dari kapasitas penyimpanan karbon nasional. Sedangkan kapasitas sisanya, atau 30 persen, diperuntukkan untuk karbon cross border.

Dalam skema karbon cross border, menurutnya, harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

"Pertama dilakukan adalah adanya MoU antar negara, atau bilateral dulu, baru disitu ada turunannya kerja sama B to B (Business to Business). Kemudian diatur pula emitter penghasil carbon yang akan menyimpan emisinya di indonesia ini harus mempunyai investasi atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia," pungkasnya.