Harga bawang putih pada bulan Maret ini merangkak naik. Kenaikan harga terjadi di sejumlah daerah.
- Kolaborasi Antar BUMN, Pelindo 3 Dorong Peningkatan Ekonomi Nasional di Masa Pandemi
- Gelar Misi Dagang di Kalbar, Gubernur Khofifah: Upaya Menjaga Pertumbuhan Ekonomi Lewat Penguatan Konektivitas Antar Daerah
- Gubernur BI: Siklus Ekonomi dan Keuangan Sedang Naik, Puncaknya Tahun 2025 dan 2026
"Untuk jenis bawang putih kating kita kulakannya (ambil dari pengepul besar) seharga Rp 38 ribu, kemudian kita jual dengan harga Rp 40 ribu, itu masih rugi. Untuk harga jual eceran sekitar Rp 42 sampai Rp 45 ribu," kata Ismail, pedagang Pasar Mangga Dua Surabaya, Senin (11/3).
Di Jawa Tengah, pasar tradisional Bantul, harga bawang putih tembus diangka Rp 40 ribu per kilogram.
Kenaikan harga bawang putih ini dikeluhkan sejumlah pedagang dan konsumen.
"Sudah empat hari ini naik terus. Kenaikannya sampai Rp 8 ribu. Katanya panen berkurang, sehingga stok juga berkurang," ujar Ida, pedagang pasar Bantul.
Kenaikan ini tentu berdampak pada penjualan. Sebab banyak pembeli yang mengeluh dan akhirnya mengurangi jumlah pembelian.
Di Pasar Minggu DKI Jakarta, harga bawang putih tembus 45 ribu per kilogram. Sementara di Pasar Kramatjati, harga bawang putih juga mengalami kenaikan Rp 42,500 ribu per kilogram.
Kenaikan harga bawang putih ini, diduga karena stok menipis dan panen di tingkat petani mulai berkurang.
Terbatasnya stok yang tidak sebanding dengan permintaan ini mengakibatkan harga bawang putih mengalami kenaikan.
Sejauh ini pemerintah sedang berupaya memperluas areal tanam bawang putih untuk mengejar target swasembada tahun 2021. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) yang mewajibkan importir menanam. Niat ini dilakukan agar Indonesia tidak terus-terusan menjadi sasaran pasar semata.
Dan, sepanjang tahun 2018 telah tertanam bawang putih seluas 8.000 hektar. Luasan tersebut meningkat 4 kali lipat dibandingkan periode tahun-tahun sebelumnya.
Namun demikian, DPR Komisi IV pernah mengkritik langkah pemerintah tersebut. Jika pemerintah membuat aturan Permentan Nomor 16 Tahun 2016, seharusnya perlu dilakukan koordinasi lebih intensif dan kajian mendalam.
Pasalnya, masalah bawang putih ini diperlukan dikoordinasi yang baik, ada sinkronisasi data yang mumpuni antarinstansi, serta sosialisasi yang cukup tentang peraturan juga menjadi faktor lain yang harus diperhitungkan pemerintah.
Selama ini komoditas bawang putih sudah lama mengalami defisit. Permentan Nomor 16 Tahun 2016 memang mempunyai niat baik, namun jika hasil produksi dari tanah bawang putih tidak mencukupi, maka harus dicarikan solusi.
Cara menanam bawang putih tidak sama dengan menanam bawang merah. Lahan bawang putih harus spesifik. Perlu ada riset lahan-lahan mana saja yang memiliki suhu tertentu dan bisa ditanami.
Sementara di sisi lain, pemerintah tetap harus menjaga agar kelangkaan tidak terjadi. Sebab bila terjadi kekosongan pasokan di pasar, ujung-ujungnya pedagang dan konsumen yang menjadi korban.
Apakah butuh impor bawang putih? Kalau tidak impor lalu darimana lagi.
Ya, untuk meningkatkan produksi bawang putih memang tidak melulu mengandalkan impor, tapi bagaimana jika terjadi kelangkaan stok? Memang harus ada ketegasan untuk mengatasi ancaman kelangkaan bawang putih. Impor tetap diperlukan, sembari menjalankan program kedaulatan pangan.
Tentu, ini menjadi tugas pemerintah untuk melakukan koordinasi, dalam hal ini Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, importir dan petani.[aji]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pengadilan Gelar Sidang Kasus Pencabulan Balita, Terdakwa Pendiri Taman Bacaan
- Bank Jatim Serahkan CSR Rehabilitasi RTLH Kepada Pemkab Bondowoso
- Privilege Night Bersama Danamon, Hadirkan para Musisi Indonesia dan Talkshow