Upaya pemerintah yang hanya menutup akun penyebar ideologi radikalisme dirasa kurang efektif.
- Kejagung Sebut Direktur Jak TV Terima Suap, Ini Respon Dewan Pers
- Tidur di Rumah Pacar, Kurir Narkoba Digrebeg Polisi
- Bocah Usia 9 Tahun Dibunuh Orang Tua Kandung dengan Puluhan Tusukan
Praktisi Hukum, Petrus Selestinus menilai, langkah yang dilakukan tidak hanya menutup akun saja melainkan juga memproses hukum orang-orang di balik media sosial radikal.
"Polisi wajib memproses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos yang terindikasi menyebarkan paham radikal, terutama paham yang menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam kedaulatan negara," kata Petrus, dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL saat menjawab polemik radikalisme melalui media sosial ketika berbincang dengan wartawan, Jumat (9/4).
Dia mengatakan, polisi bisa menjerat pemilik akun medsos radikal dengan Undang Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Pemblokiran itu baik sebagai langkah preventif tetapi juga harusnya ditindaklanjuti dengan langkah pemidanaan, karena hukum positif kita sudah mengaturnya," katanya.
Menurutnya, polisi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan masyarakat untuk memproses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos yang terindikasi menyebarkan paham radikal. Polisi cyber memiliki kemampuan dan kewenangan untuk bertindak tanpa harus menunggu pengaduan masyarakat.
Jika hal itu dilakukan, Petrus menduga dampaknya bagi pencegahan penyebaran radikalisme dan terorisme akan cukup besar.
"Sekaligus mencegah meluasnya penyebaran paham radikal atau radikal terorisme yang sangat mengancam kedaulatan negara, kehormatan dan wibawa negara," tegasnya.
Haris Amir Falah, mantan narapidana teroris, sebelumnya menyebutkan ada perubahan pola rekrutmen orang yang disiapkan melakukan aksi teror. Rekrutmen calon teroris tidak lagi melalui tatap muka, melainkan via media sosial.
Melalui media sosial, calon pengantin bisa melakukan dialog tanpa bertemu tatap muka dengan pembinanya. Haris menuturkan, sejumlah platform media sosial yang kerap dijadikan medium indoktrinasi serta rekrutmen teroris adalah Facebook dan Telegram.
Sedangkan Menkominfo RI Jhonny Plate mengatakan Kementerian Kominfo mengawasi ruang siber menggunakan mesin crawling berbasis AI yang memantau akun dan konten-konten yang terkait dengan kegiatan radikalisme terorisme.
Kemenkominfo juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga serta stakeholder terkait lainnya terkait penyebaran konten radikalisme dan terorisme di medsos. Kominfo juga berupaya menyampaikan konten positif untuk memberi literasi kepada masyarakat.
"Hingga 3 April 2021, Kementerian Kominfo telah memblokir konten radikalisme terorisme 20.453 konten yang tersebar di situs internet, serta beragam platform media sosial," ujar Jhonny.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- KPK Temukan Bukti Bagi-Bagi Duit Dana Hibah Pokmas DPRD Jatim, Sekwan Andi Fadjar Mengaku Tak Tahu
- Anak 11 Tahun di Sumenep Diperkosa Jelang Tarawih
- MA Selidiki Hakim R yang Terlibat Penunjukan Hakim PN Surabaya di Sidang Ronald Tannur