Perkembangan situasi di Afghanistan tidak terlepas dari geopolitik di Asia Tengah sebagai wilayah jantung atau heartland yang menghubungkan Eropa dan Asia.
- Anggota DPR Ini Gelar Workshop Cara Menang Pilkades Bagi Cakades Yang Tak Punya Biaya
- Mobilitas Meningkat saat Mudik, Alasan Pemerintah Perpanjang PPKM
- Puji Kepemimpinan Khofifah, Gus Fawait: Sudah On The Track
Kembalinya Afghanistan ke genggaman Taliban saat ini dinilai akan memperkuat aliansi strategis China, Rusia, Iran, dan Pakistan yang menerapkan kebijakan luar negeri berlandaskan geopolitik.
"Sudah seharusnya Indonesia selain tetap merujuk pada politik luar negeri bebas aktif, tapi (juga) harus lebih imajinatif, dengan inspirasi KAA Bandung 1955, maupun Gerakan Non Blok (GNB) 1961. Harus mempertimbangkan input-input geopolitik juga," terangnya dalam diskusi Obrolan Hati Pena pada Minggu sore (5/9).
Menurut Hendrajit, dalam pidato pembukaan KAA Bandung 1955, Presiden Soekarno telah memasukkan skema politik luar negeri berbasis geopolitik.
Ketika itu, Soekarno menekankan "Garis Hidup Imperialisme" yang membentang dari Selat Gibraltar, melalui Laut Tengah, Terusan Suez, Laut Merah, Lautan Hindia, Laut China Selatan, hingga Laut Jepang.
"Yang Bung Karno tidak sebutkan, itu adalah Jalur Sutera," kata Hendrajit.
Dengan semakin kuatnya geopolitik, ia mengatakan, Indonesia harus mengaktifkan kembali sarana-sarana yang sudah ada, seperti GNB dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
"Ide dasar Bung Karno itu bukan sekadar merespon terhadap Kutub Barat, Amerika-NATO, versus China Rusia. Tapi kekuatan ketiga, the third force. Ini yang saya kira Indonesia harus memanfaatkan momentum ini," pungkasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- DPRD dan Pemprov Jatim Setujui Pendatanganan Substansi RTRW 2023 – 2043
- 78 Pegawai KPK Dijatuhi Hukuman Etik
- Tidak Ingin Ada Kegaduhan, BEM Nusantara Ingatkan Menteri Jokowi Aktif Komunikasi dengan Masyarakat