Bertemu Tan Malaka Dan Hatta

Saat terjadi pemogokan besar-besaran di Jawa, saat banyak tokoh kiri ditangkap, Darsono berada di luar negeri. Hal ini membuat pemerintah kesulitan.


Pada bulan November 1921 Darsono menghadiri Kongres Partai Komunis Belanda (Comunist Partij: CP) dan memberikan pidatonya. Darsono meminta diadakannya kerjasama antara PKI dengan CP.

Pada bulan Juli 1922, Mohammad Hatta pernah menerima surat dari Darsono di Berlin yang mengabarkan bahwa Tan Malaka ada di Berlin.

Darsono menganjurkan Hatta, "jika ada tempo" supaya datang melancong ke Berlin.

Hatta akhirnya bertemu Darsono pada suatu malam di bulan Juni 1922 di Hamburg. Darsono datang dari Berlin khusus untuk menemui Hatta yang sedang berkunjung ke Hamburg.

Di Berlin, Hatta menginap di rumah Darsono. Ternyata Tan Malaka juga menginap di rumah yang sama.

Selama lima hari di Berlin, terjadi banyak percakapan antara Hatta,  Darsono, dan Tan Malaka. Percakapan terutama mengenai Indonesia.

Menurut pengakuan Hatta, Darsono sudah enam bulan berada di Jerman, dan telah berpidato beberapa kali di beberapa tempat untuk Partai Komunis Jerman (PKJ).

Sesudah bercakap-cakap sekitar dua jam malam itu,  keesokan harinya, Darsono mengajak Hatta berkunjung ke kantor PKJ cabang Hamburg.

Seperti diceritakan oleh Hatta dalam satu kesempatan, Hatta bertanya kepada Tan Malaka kemungkinan dia menetap di Moskow.

Menurut Tan, sudah sepantasnya dia pergi ke Moskow, karena Moskow adalah pusat gerakan komunis sedunia. Akan tetapi Tan Malaka tidak akan tinggal di Moskow. Tan tidak akan beristirahat. Dia akan terus bergerak dan berjuang untuk Indonesia Merdeka.

Kepada Hatta, Tan mengungkapkan tekadnya untuk meneruskan perjalanan ke Timur Jauh, dan dari situ Tan akan membuka hubungan dengan pergerakan kemerdekaan di seluruh Asia.

Darsono sebenarnya sempat kembali ke Indonesia tahun 1923 dan secara ekstensif memimpin kembali PKI di jalur persaingan sengit dengan SI.

Pada akhirnya, dalam kongres PKI pada bulan Juni 1924 dengan penuh kemenangan Darsono menyatakan bahwa PKI dan SI Merah/Sarekat Rakyat menang atas PSI/CSI dalam perebutan hegemoni pergerakan.

Namun kemenangan itu justru membawa pergerakan ke dalam sebuah konteks politik yang benar-benar baru. Pemerintah kolonial menggeneralisir bahwa pergerakan sama dengan gerakan komunis.

Mereka menganggap komunisme sebagai sesuatu yang asing bagi pribumi dan PKI berada di bawah komando Komintern.

Darsono pada akhirnya ditangkap tahun pada tahun 1925 dan dibuang ke luar Hindia setahun berikutnya dan menuju Moskow melalu Singapura dan China.

Menggunakan nama samaran Samin, Darsono bekerja di Komintern dan terpilih sebagai anggota alternative Komite Eksekutif Komintern pada tahun 1928.

Selama berada di luar negeri, pengaruh Darsono cukup besar. Selama menjadi pimpinan komunis di Indonesia, Darsono pernah dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah) tahun 1929 oleh Partai Komunis Belanda.

Darsono pernah berada di daftar urutan 3 dan Tan Malaka di urutan 2, namun keduanya tidak terpilih.

Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kunjungan dan pidatonya pada kongres CP November 1921 sebelumnya. Karenanya Darsono juga cukup populer di Belanda. Apalagi Darsono juga cukup teoritis dalam pergerakan.

Pada tahun 1935, Darsono pindah ke Belanda dan pulang kembali ke Indonesia tahun 1950.

Bersama Semaoen, sahabat karibnya, Darsono mengundurkan diri dari gerakan komunis. Kendati demikian, mereka masih memihak kaum yang tertindas.

Darsono sendiri terus mendedikasikan hidupnya membela kaum yang tertindas dengan melawan ‘setan oeang’. Dia masih percaya bahwa kekuatan pena mampu mengalahkan pedang.

Saat itu banyak juga tokoh PKI angkatan 1920an yang menghilang dari peredaran perpolitikan pasca kemerdekaan Indonesia.

Darsono kemudian bekerja di Kementerian Luar Negeri sebagai penasihat dan pensiun pada tahun 1960.

Darsono meninggal tahun 1976 di tempat di mana ia memulai kegiatan politiknya, yakni di Semarang.[noviyanto/diolah dari berbagai sumber

ikuti terus update berita rmoljatim di google news