Bom Kartasura: Mengulik Motif Bom Bunuh Diri

SENIN malam dua hari jelang Hari Raya Idul Fitri 1440 H sebuah bom meledak di Pos Pantau Tugu Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah.


Serangan tersebut berdasar berbagai pemberitaan tidak memakan korban melainkan satu pria terduga pelaku pengeboman yang menurut saksi telah dibawa ke rumah sakit dalam keadaan kritis.

Fenomena serangan jelang hari raya umat Islam ini tentunya menyisakan segudang pertanyaan bagi kita, misalnya bagaimana rasionalisasi motif dan sasaran serangan teror tunggal tersebut? Bagi kita tentunya amat sulit menemukan rasionalisasi teror khususnya bom bunuh diri.

Terorisme dalam Bulan Suci

Pertama-tama ada baiknya kita bersepakat pada sebuah konsep terorisme. Dalam bahasa Arab terorisme berhubungan dengan kata irhab yang memiliki akar makna memberikan ketakutan”, sejalan dengan terminologi tersebut terorisme identik dengan indirect victim yaitu target tidak langsung yang diserang dengan cara menimbulkan kecemasan dan ketakutan.

Secara akademis ahli terorisme Alex Schmid menyebutkan terorisme merupakan sebuah pilihan metode terlepas dari latar belakang ideologi apapun berdasarkan usaha mencapai varian kepentingan. Adapun usaha mencapai kepentingan dalam agama Islam melalui terorisme merupakan hal yang jelas-jelas terlarang.

Terorisme secara terang benderang bertentangan dengan nilai dasar tujuan (maqashid) Islam. Di antaranya yaitu hifzul nafs (menjaga jiwa) dan hifzul mal (menjaga harta).

Adapun terorisme jelas membawa korban jiwa dan juga korban harta benda, baik dalam konteks milik privat lebih lagi harta benda milik publik. Tentu tak perlu dalil-dalil lebih panjang bahwa terorisme tidak mendapat tempat dalam doktrin keislaman lebih lagi pada bulan suci Ramadhan, sekalipun secara faktual Perang Badar pada tahun 2 Hijriah sebagai sebuah perang monumental terjadi pada bulan Ramadhan.

Tentu konteks Perang Badar amat berbeda dengan terorisme yang berkembang dewasa ini. Perang Badar terjadi dalam keadaan tekanan fisik dan ancaman nyawa yang nyata dan jelas-jelas tidak terjadi pada ide terorisme yang menyasar target-target tidak berdosa dewasa ini.

Ramadhan sudah sepatutnya menjadi bulan menahan diri dan berbagi yang diilhami dengan ibadah puasa, sungguh amat disayangkan Ramadhan tahun ini ditutup dengan sebuah serangan teror.

Rasionalisasi Teror Bom Bunuh Diri

Kita mungkin berandai-andai akan isi kepala para pelaku teror, khususnya teror jelang hari bahagia bersama keluarga di kampung halaman.

Banyak dari kita menduga para pelaku teror atas nama apapun adalah manusia sakit jiwa. Pandangan semacam itu hampir sepenuhnya keliru.

Berbagai simposium, diskusi, dan penelitian menunjukkan rasionalitas para pelaku teror. Misalnya seperti penelitian yang dilakukan Guru Besar UI Prof. Sarlito Sarwono yang menyebutkan rasionalitas dan pikiran normal adalah sebuah pola umum pelaku teror di Indonesia.

Lantas rasionalitas apa yang dapat menjelaskan serangan teror atau bahkan bom bunuh diri? Suka tidak suka, para pelaku teror memiliki rasionalitas dalam alam pikirannya sendiri. Misalnya seperti berharap imbalan surga atau meyakini bahwa terorisme merupakan sebuah perjuangan kebenaran.  

Sayangnya, memahami terorisme memang tidak sederhana. Alasan rasional pribadi mendamba surga dan perjuangan tidak memberikan jawaban yang memuaskan bagi kita.

Ditambah terdapat fakta serangan teror yang sama sekali tidak didasari oleh kekeliruan pemahaman atau radikalisme agama seperti serangan Bom Alam Sutera 2015 silam dengan motif pemerasan dan kebutuhan ekonomi yang rasanya lebih rasional atau juga aksi bom bunuh diri yang mendatangkan kompensasi finansial dari jaringannya.

Artinya begitu banyak varian latar belakang seseorang melakukan serangan teror, tak melulu soal radikalisme agama. Untuk itu kemampuan memahami akar terorisme adalah keharusan untuk dapat meminimalkan ancaman terorisme alih-alih memperdebatkan kewarasan seorang pelaku teror.

Radikalisme Agama atau Pemahaman Nihilis

Akar terorisme dapat ditelaah dalam pendekatan akademisi Prancis Olivier Roy dan Gilles Kepel. Kepel memandang bahwa secara tekstual perkembangan radikalisme berbasis keagamaan menjadi pendorong kuat terorisme.

Di sisi berbeda Roy berpandangan bahwa terorisme tidak berkaitan dengan radikalisme agama melainkan pemahaman nihilis dengan anggapan dunia tidak ada artinya lagi dan hanya menggunakan atribut keagamaan sebagai justifikasi perbuatannya.

Pandangan nihilis menurut Roy tidak lahir dari proses keagamaan melainkan dari rasa kekecewaan pada kondisi diri dan lingkungannya, rasa tidak adil, putus asa, dan harga diri yang rendah.

Dua mazhab di atas baik potensi yang berangkat dari radikalisme keagamaan atau sekedar menggunakan justifikasi agama mungkin terjadi.

Dalam kasus Bom Kartasura hanya akan mendapatkan jawaban ketika terungkap latar belakang pelaku. Namun demikian dua asumsi di atas menjadi gambaran bahwa konsep himbauan dan kampanye jalan damai dan moderasi beragama tidak sepenuhnya menyelesaikan kedua akar terorisme di atas.

Simplifikasi dengan menjelaskan agama sebagai rahmat tidak mengurangi potensi agama dijadikan sekedar kedok dan justifikasi serangan teror dengan varian motif terselubung. Oleh sebab itu juga tidak tepat melimpahkan kasus teror serta merta langsung pada sebab radikalisme agama.

Jaringan Teror atau Lone Wolf


Selain latar ideologis atau pandangan nihilis di atas, tantangan Bom Kartasura juga dapat dibaca berdasarkan latar belakang pelaku. Apakah pelaku berafiliasi dengan jaringan kelompok teror atau menjalankan aksinya seorang diri (lone wolf)?

Terdapat kejanggalan aksi serangan teror Bom Kartasura bila itu berhubungan dengan jaringan teror. Secara sasaran pola serangan pada aparat kepolisian menggambarkan kemiripan dengan modus operandi jaringan teror di Indonesia, namun segi kapasitas serangan dan tidak adanya klaim membuat kasus ini cukup meragukan.

Tak seperti Bom Thamrin lalu yang jelas memiliki hubungan dengan terpidana mati terorisme Aman Abdurrahman, klaim ISIS atas serangan, dan jatuhnya korban polisi yang terjadi tahun 2016 lampau.

Akan lebih mudah bagi kita mencerna aksi bom bunuh diri yang berasal dari jaringan teror. Ikatan jaringan yang kuat kerap kali menutup ruang pilihan bagi calon pengantin bom bunuh diri, seperti yang dikisahkan Ali Imron dalam kasus Bom Bali.

Proses radikalisasi sejak masa rekrutmen dalam jaringan, indoktrinasi, dan persiapan mental yang dikonstruksi jaringannya merupakan fase penting menuju aksi bom bunuh diri.

Oleh sebab itu menjawab serangan bom bunuh diri berbasis jaringan teror adalah memaksimalkan fungsi intelijen dan pelemahan jaringan kelompok teror.

Lantas bagaimana dengan serangan dengan latar lone wolf? Serangan lone wolf sama sekali tak berafiliasi dengan jaringan teror dan kerap kali individu melalui proses radikalisasi melalui proses belajar sendiri, baik melalui buku-buku ataupun media internet. Bagaimana menjelaskan legitimasi mati serangan dengan latar lone wolf?

Jalan Menuju Legitimasi Mati


Jalan menuju legitimasi mati dapat menjelaskan bom bunuh diri baik dengan latar jaringan maupun lone wolf, baik dengan latar radikalisme agama maupun pemahaman nihilis.

Fathali Moghaddam seorang ahli psikologi Georgetown University membangun argumentasi legitimasi terorisme dalam metaphore tangga. Tiap anak tangga mewakili proses individu menuju terorisme.

Anak tangga permulaan adalah rasa ketidakadilan. Perasaan kondisi tidak adil seperti kemiskinan atau framing penindasan pada umat Islam mengantarkan individu pada anak tangga kedua yaitu usaha memperbaiki kondisi yang dianggap ketidakadilan.

Pada tahap kedua, individu yang gagal memperbaiki keadaan naik pada anak tangga ketiga yaitu tahap membangun konsep musuh, pada tahap berikutnya kristalisasi rasa tidak adil mulai melegitimasi kekerasan pada konstruksi musuh yang dibangun sebelumnya. Sampai dengan pada anak tangga terakhir individu terpapar jaringan terorisme atau terdorong melakukan sebuah aksi teror.

Proses anak tangga tersebut menggambarkan kerentanan individu menuju terorisme. Dalam konteks terorisme dengan latar belakang apapun fase paling krusial adalah anak tanggal melegitimasi kekerasan.

Fase ini dalam struktur jaringan teror telah masuk pada tingkatan paling dasar yaitu simpatisan, tentunya berpotensi untuk terus terjerumus dalam jaringan teror atau radikalisme yang dipelajari sendiri.

Oleh sebab itu salah satu jalan mengatasi terorisme ialah menghentikan proses radikalisasi yang tentunya perlu uluran tangan seluruh pihak secara konsisten.

Menjadi Agen Terorisme

Salah satu media tumbuh kembang terorisme baik dengan latar jaringan atau lone wolf adalah media sosial dan internet. Dalam wadah dunia maya terjadi proses radikalisasi, perekrutan, pengumpulan dana, hingga perencanaan serangan teror. Civil society wajib ambil bagian dalam peperangan dunia maya melawan radikalisme yang merupakan jembatan menuju terorisme.

Salah satunya ialah dengan tidak menjadi agen terorisme. Seperti telah disebutkan di awal bahwa target terorisme yang paling umum adalah ancaman ketakutan.

Menyebarkan konten ledakan bom, foto-foto kejadian tanpa sensor, sampai dengan berita palsu nan bombastis berkontribusi pada amplifikasi serangan teror. Amplifikasi serangan teror di banyak negara kini bahkan telah masuk dalam rumpun kejahatan terorisme.

Maka, menutup bulan suci Ramadhan ada baiknya kita menahan diri. Seraya mendoakan yang terbaik bagi bangsa dan terus aktif mendorong serta terlibat dalam proses memutus akar-akar terorisme.

Prakoso Permono

Mahasiswa Magister Kajian Terorisme Universitas Indonesia

ikuti terus update berita rmoljatim di google news