- Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
- Bersumpah Demi Allah, Prabowo Bela Kaum Buruh
- Jokowi Ngotot Sembunyikan Ijazah Asli, Kenapa?
DI tengah suasana politik yang makin mirip sinetron tanpa jeda iklan --dan tanpa penulis skenario profesional -- muncul lagi satu episode menggelitik. Kali ini dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Bukan hanya sekadar acara reuni akbar sambil karaoke lagu perjuangan, mereka datang dengan delapan tuntutan.
Salah satu tuntutan mereka cukup bombastis: mengganti Wakil Presiden dengan memakzulkan Gibran Rakabuming Raka.
Ya, Gibran. Anak sulung mantan Presiden Jokowi, mantan Wali Kota Solo yang naik kelas ke panggung nasional lebih cepat dari kecepatan promosi karyawan startup. Kalau Gibran ini karakter fiksi, mungkin sudah menyabet penghargaan “Tokoh Paling Instan” di dunia politik Indonesia. Tapi karena dia nyata, kita semua kena plot twist nasional.
Yang bikin heboh, tuntutan penggantian ini tidak datang dari ormas pinggiran atau netizen gabut yang lagi nungguin diskon belanja online. Ini dari 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Kalau mereka berbaris rapi di Senayan sambil teriak yel-yel, mungkin warga bakal mengira ada parade kemerdekaan edisi “Alternate Universe”.
Tentu saja, ini bukan pertama kalinya Gibran disuruh “undur diri” -- baik dengan sopan santun ala keraton maupun dengan gaya kasar ala netizen 4G. Sudah ada demo mahasiswa, ormas, aktivis, hingga pameran tanda pagar: #BukanWaktunyaGibran, #CaweCaweGate, #NepotismeNaikKelas.
Tapi, tuntunan kali ini lebih berbobot dan nendang begitu kerasnya: ditandatangani para mantan KSAD, KSAL, dan KSAU. Ini diperkuat oleh banyak dukungan dari sejumlah mantan petinggi negeri. Kalau zaman Orba, mungkin ini sudah jadi tayangan wajib di TVRI, dengan backsound “Bagimu Negeri” versi dramatis.
Namun, mari kita turunkan volume ketawa sebentar dan bertanya: Apakah mereka salah?
Tidak sepenuhnya. Para purnawirawan ini menyoroti akar masalah yang sudah lama jadi bisik-bisik tetangga: kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan Gibran menjadi cawapres. Putusan ini, kalau diibaratkan makanan, kayak mi instan yang dimasak pakai air comberan: cepat, tapi bikin mules.
Anda ingat, Ketua MK waktu itu -- yang, kebetulan, paman Gibran sendiri --dinyatakan melanggar etika berat, sampai-sampai meja sidang hampir perlu diganti karena terlalu banyak menahan malu. Logika hukum publik langsung jalan: jika tindakan Ketua MK diputus melanggar, mestinya hasil keputusannya juga salah.
Namun, apakah ini cukup alasan mengganti Wapres?
Secara konstitusional, jawabannya tak semudah membalik lembaran naskah pidato. Gibran sudah terpilih lewat pemilu yang (minimal secara administrasi) sah. Konstitusi cuma bisa memberhentikan Presiden/Wapres kalau ada pelanggaran berat: pengkhianatan negara, korupsi, suap, tindakan tercela, dan tentu saja, tindakan-tindakan selevel “menerbangkan alien untuk curi kotak suara”.
Satu-satunya jalur yang sah? Mahkamah Konstitusi. Dan meskipun kita semua ingin mengedit naskah ceritanya, kita tidak bisa sekadar bilang, “Prosesnya aneh, yuk ganti.” Itu seperti mau ganti pemain bola hanya karena rambutnya mirip mantan pacar yang nyakitin.
Lalu, apa sebenarnya motivasi di balik usulan ini?
Bisa jadi ini suara kekecewaan terhadap nepotisme politik. Bisa jadi ini alarm bahwa reformasi kita ternyata masih nginep di pos satpam kekuasaan. Bisa juga karena Gibran dinilai tidak qualified. Atau alasan lainnya, silahkan sebut. Tapi sekali lagi: niat baik tanpa prosedur yang sah itu kayak proposal cinta yang disampaikan lewat penggeledahan KTP -- bisa dianggap kriminal.
Ironisnya, dalam delapan tuntutan para purnawirawan itu, mereka tetap mendukung Presiden Prabowo. Jadi logikanya kira-kira: “Pak Prabowo kami dukung penuh, asal tolong usir bocah itu.” Ini seperti memesan sate kambing, lalu ngamuk karena ada tusukannya.
Tentu, kita menghormati hak bersuara. Bahkan kritik keras seperti ini adalah tanda vitalitas demokrasi. Tapi, solusi harus realistis. Konstitusi kita bukan warung kopi yang bisa mengubah menu sesuka hati pelanggan.
Dan kini, masuklah pendapat menarik dari ranah akademisi. Dalam dialog di Kompas TV, Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM, membeberkan tiga opsi pintu hukum untuk impeachment Gibran. Tidak gampang, tapi bukan mustahil—tentu dengan syarat berat:
1. Ijazah Gibran: Kalau memang ada bukti kuat terkait keabsahan ijazahnya, ini bisa jadi batu sandungan. Tapi perlu bukti konkret, bukan sekadar rumor WhatsApp grup keluarga.
2. Perbuatan Tercela: Seperti dugaan kepemilikan akun fufufafa -- akun misterius yang isinya diduga menghina Prabowo dan keluarganya. Kalau terbukti, bisa masuk kategori moral hazard, bukan sekadar iseng.
3. Dugaan Korupsi: Kalau laporan pidana lama, misalnya dari Mas Ubaidilah ke KPK, bisa dibuktikan, ini jalur hukum keras untuk membuka pintu pemakzulan.
Namun, seperti ditekankan Zainal -- yang akrab disapa Uceng -- semua harus lewat jalur konstitusional. Tidak boleh mengulangi dosa konstitusi hanya karena ingin memperbaiki dosa politik. Atau, dalam istilah kampung saya: jangan memperbaiki genteng bocor dengan menendang seluruh atap rumah.
Muncul juga ide ekstrem: bisakah MK membatalkan putusannya sendiri? Secara teori hukum, ada mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Tapi syaratnya berat: harus ada novum -- fakta baru -- seperti bukti pelanggaran etika berat yang belum dipertimbangkan. Dan… dengan Ketua MK waktu itu sudah terbukti melanggar etika berat plus konflik kepentingan, sebagian ahli hukum menilai PK layak diajukan.
Apakah Mahkamah Konstitusi mau membongkar rumah yang sudah separuh dibangun? Nah, itu persoalan keberanian sejarah -- dan mungkin juga soal siapa yang keburu kehabisan kursi duluan.
Kesimpulannya? Kursi Gibran memang masih punya pegangan hukum, tapi goyah secara moral. Ia menang suara, tapi kehilangan kepercayaan sebagian rakyat. Dalam politik, itu ibarat menang duel tapi pulang dengan reputasi berdarah-darah.
Jika Gibran ingin kursinya tidak hanya bertahan, tapi benar-benar berwibawa, ia perlu lebih dari sekadar senyum-senyum menyong dan jargon “menghormati proses hukum.” Ia perlu kerja nyata, integritas kuat, dan kemauan keras untuk membuktikan dirinya layak --bukan karena garis keturunan, tapi karena kualitas kepemimpinan.
Karena sejarah bangsa ini terlalu mahal untuk diserahkan kepada mereka yang hanya menang lomba genetik.
*Penulis adalah Wartawan Senior
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
- Bersumpah Demi Allah, Prabowo Bela Kaum Buruh
- Jokowi Ngotot Sembunyikan Ijazah Asli, Kenapa?