Dihilangkan Dari Sejarah

Politik sejarah telah menyembunyikan tiap-tiap tokoh, peristiwa dan lain-lainnya, yang dapat menimbulkan inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia. Pahlawan-pahlawan Indonesia yang berhasil mengalahkan Belanda, yang berjuang sampai tetes darah penghabisan, yang berjiwa nasional, dikaburkan oleh sejarawan-sejarawan kolonial dalam tumpukan arsip-arsip tua.


"Nama Haji Misbach dicoba untuk ditiadakan dalam realitas masyarakat Indonesia, maupun sejarah Indonesia. Pembicaraan mengenai Haji Misbach muncul kembali di kalangan akademisi itu, sejauh yang saya tahu sejak 1980an, ketika seorang penulis mengutip nama Haji Misbach sebagai seorang Jawa dan Komunis. Belakangan menjadi terkenal karena studi seorang sarjana dari Jepang, Takashi Siraishi yang menulis tentang pergerakan radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926. Satu di antara tokoh yang dibahas secara intensif dan mendalam, adalah Haji Misbach. Lewat studi itu pula, nama Haji Merah muncul," jelas Soemarsono.

Takashi Shiraishi memulai disertasinya pada 1986. Bisa dianggap Takashi orang pertama yang menjelaskan secara mendalam dan detail, siapa dan apa peran yang dimainkan Haji Misbach selama masa yang disebut "zaman bergerak”.

Meskipun dalam karyanya, ia memaparkan radikalisme dalam zaman pergerakan secara umum, ia pun mengakui peran penting Haji Misbach dan tulisan-tulisannya, bukan hanya dalam masa hidupnya, namun juga dalam mengilhami dan memengaruhi karyanya ini.

Dalam prakata bukunya, misalnya, ia menulis, "Konsepsi buku ini berasal dari pertemuan saya dengan serial artikel Hadji Mohammad Misbach dalam Medan Moeslimin, "Islamisme dan Komunisme”, yang saya temukan di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta, pada Desember 1977. Oleh karena tidak dapat memahaminya, saya mencari dan coba merekonstruksi sebuah konteks historis yang bermakna untuk menempatkan dan membaca artikel tersebut. Hal ini membuat saya mempertanyakan historiografi ortodoks tentang pergerakan.”

Yang dimaksud dengan historiografi ortodoks oleh Takashi adalah klasifikasi yang diterapkan pada kelompok-kelompok dalam zaman pergerakan, dan penyederhanaan-penyederhanaan yang reduksionistik dalam melihat pergerakan.

Dalam historiografi ortodoks, lapangan pergerakan dibagi secara kaku dan saklek menjadi tiga golongan yang baku berdasar ideologi (nasionalisme, Islam, dan komunisme), tanpa dimungkinkan adanya sintesa dan percampuran hibrida antar ketiganya.

Karenanya, ia akan gagap menjelaskan adanya fenomena orang-orang yang bergerak di lebih dari satu lapang pergerakan (semisal orang yang aktif di Insulinde dan menjadi anggota SI, atau anggota Budi Utomo yang juga aktif di SI, dan seterusnya). Juga, ia kesulitan mengidentifikasi adanya nuansa dan keberagaman dalam satu organisasi, yang tak bisa disederhanakan dalam klasifikasi-klasifikasi tersebut.

Dalam hal ini peran Haji Misbach begitu penting. Apalagi Soewarsono melalui buku yang ditulisnya 'Jejak Kebangsaan Kaum Nasionalis di Manowari dan Bovendigul' juga menceritakan, sosok Haji Misbach adalah muslim yang baik, lulusan pesantren, serta pernah berhaji sebelum memulai pergerakan Nasional. Haji Misbach juga seorang pimpinan media.

"Pergerakan Nasional dimulai oleh Haji Misbach ketika menjadi jurnalis. Haji Misbach memiliki dua surat kabar namanya Medan Muslimin yang didirikan 1915, dan Islam Bergerak pada 1917. Ini yang akan menjadi dasar dia berkegiatan dalam politik pergerakan saat itu. Hanya saja, masa pergerakan itu dimulai saat ia bergabung dalam organisasi yang didirikan Cipto Mangunkusumo, Insulinder yang berubah menjadi Sarikat Hindia, atau National Indische Partij," terangnya.

Seorang Islam sejati seperti Haji Misbach, jelas Soewarsono, mengalami perkembangan politik pada konteks pertamanya adalah pergerakan yang bersifat kebangsaan, atau saat ini dikenal dengan 'Tiga Serangkai' (Cipto, Dowes Dekker, dan Suhardi Suryaningrat) hingga tahun 1923, sebelum kemudian Sarikat Hindia dihancurkan oleh Belanda.

Padahal sosok ini tak bisa bahasa Belanda, karena hanya lulusan pesantren dan sekolah ongko lorho. Karena tidak bisa bahasa Belanda, Haji Misbach tidak bisa mengakses buku-buku tentang komunis terbitan Belanda. Untuk menyiasatinya, ia menggunakan bahasa daerah dan melayu yang dikuasainya untuk mengakses karya-karya komunisme yang ditulis dalam bahasa melayu. Karya Tan Malaka dan Semaun saat itu memang banyak beredar. Semisal Novel Hikayat Kabirun, karya Semaun. Karya-karya yang dibacanya itu membuat Haji Misbach berpandangan lain tentang Islam dan komunisme. Meskipun ia tahu Islam dan komunisme dua hal yang berbeda.

Tak jelas dari mana ketertarikan dan kesadaran Haji Misbah terhadap isu yang tak begitu populer bagi kalangan agamawan ini muncul. Yang jelas, seperti tergambar dari kesaksian Marco terhadap sosoknya, ia adalah seorang haji yang terbuka, eklektik, mau menerima pengetahuan dari mana saja, dan tak canggung untuk bergaul dengan siapa saja dari latar belakang apa saja.

Hal-hal ini mungkin yang kemudian memantik kesadarannya dan membangkitkan perhatiannya terhadap persoalan masyarakat pinggiran. Kepedulian Haji Misbach terhadap rakyat kecil pun bukan semata didasari empati dan rasa kasihan, namun juga dilengkapi dengan pengetahuan sebagai perangkat untuk menganalisa dan mengaitkannya dengan struktur ekonomi yang lebih luas pada masa itu.

Hal ini kemudian melahirkan sesuatu yang unik, yaitu sintesis pemikiran. Dalam banyak tulisannya, terutama sejak 1918, ia sering mengombinasikan penguasaannya terhadap pengetahuan agama (patut diingat, pada masa itu, gelar Hadji hampir pasti menunjukkan orang yang menyandangnya adalah muslim taat dengan pengetahuan agama yang luas dan mendalam), dengan mengutip mashadir al-ahkam (sumber hukum) dan dalil-dalil agama, termasuk juga cerita-cerita perjuangan Nabi, dengan pemahamannya yang juga terbilang cukup baik terhadap konsep ekonomi-politik yang diungkapkan dengan istilah sederhana pada masa itu, seperti "kapitalisme”, penghisapan”, dan "penindasan” ekonomi.[novi/dikutip dari berbagai sumber

ikuti terus update berita rmoljatim di google news