Divonis Percobaan- Christea Bebas Tanpa Jalani Hukuman

Terdakwa dugaan pemalsuan surat domisili Christea Frisdiantara akhirnya dijatuhi majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo dengan hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 6 bulan, Selasa (26/2).


"Majelis juga memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan sejak amar putusan dibacakan," ucap Djoni saat membacakan amar putusan dikutip Kantor Berita .

Meski hanya diputus percobaan, Ketua Perkumpulan Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi PGRI (PPLP PT PGRI) Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) ini, tetap dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, turut serta melakukan dengan sengaja memakai surat yang isinya atau yang dipalsu.

Surat tersebut seolah-olah benar dan tidak dipalsu yang dapat menimbulkan kerugian, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 263 ayat 2 KUHP, Junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pertimbangan majelis hakim menjatuhkan putusan percobaan, karena selama persidangan terdakwa bersikap sopan. Selain itu, terdakwa adalah seorang pengajar (dosen) di kampus Unikama dimana tenaganya masih dibutuhkan.

Atas putusan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sidoarjo yang melihat jauh dari tuntutan jaksa yang menuntut 2 tahun penjara, masih pikir-pikir untuk menentukan sikap akan mengambil upaya banding.

Sementara itu kuasa hukum Christea Frisdiantara, Bonaventura Sunu Setyonugroho mengatakan pihaknya masih pikir-pikir untuk melakukan upaya banding.

"Putusan hakim pada dasarnya lebih ringan dari tuntutan JPU, dan JPU pasti akan lakukan banding. Pihak kami masih pikir-pikir untuk upaya banding atas putusan itu," ucap Sunu.

Namun demikian, Sunu menyesalkan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan fakta di persidangan. Sunu berpendapat kliennya sebetulnya dapat dibebaskan dari segala dakwaan.

"Ada beberapa pertimbangan yang tidak mempertimbangkan fakta materiil yang muncul di persidangan, misal hasil uji forensik tidak ada, tapi berkas bisa jadi lengkap. Padahal penyidik sudah melakukan permohonan uji lab, khan laporannya Lurah. Dan Lurah tidak pernah merasa bikin surat domisili, jadi suratnya palsu. Ini yang harus dilampirkan uji labnya. Nyatanya tidak ada, dan penyidik enggan datang, karena bisa rontok itu penyidikan. Sayangnya fakta ini tidak dipertimbangkan oleh majelis,” imbuhnya.

Ada lagi pertimbangan Sunu, dalam kasus tersebut kliennya dipidana sebagai turut serta. Maka, kalau dia dipidana ‘turut serta’, artinya ada pelaku lain.

"Kalau ada pelaku lain, kenapa dia harus sendiri mempertanggungjawabkan pidana itu. Padahal sepengetahuan pak Tea soal surat domisili itu baru ia ketahui saat setelah sidang penetapan. Aartinya Julianto yang jelas berdasarkan keterangannya bahwa ide untuk menggunakan surat domisili dalam mengajukan penetapan adalah idenya dia sendiri buka pak Tea,” tegasnya.

Ditambahkan Sunu, surat domisili itu dibuat tanggal 7 Mei 2018, dan dipergunakan Julianto tanpa pengetahuan Christea pada 8 Mei 2018. Julianto pun tidak memberikan keterangan bahwa dalil-dalil permohonan yang ia buat tidak pernah dikonsultasikan kepada Christea.

"Jadi kalau ditanya, apakah adil putusan hakim? Saya jawab, ketidakadilan itu adalah keadilan itu sendiri dan keadilan itu adalah ketidakadilan itu sendiri. Sekarang tergantung dari sisi mana kita berada,” pungkasnya.

Terpisah, Ketua Umum Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur, Agustinus Tedja, mengaku sangat kecewa dengan putusan yang dijatuhkan pada Christea Frisdiantara.

"Sebuah jargon persidangan yang tampak sekali dipaksakan dan secara substansi keadilan yang dialami pak Tea (Christea) adalah pendzoliman,” terang Tedja.

Tedja sebenarnya prihatin dengan hukum di negeri ini, yang seharusnya lebih beradab dan bermoral.

"Saya prihatin setelah mengetahui pada tingkat P21 saja seharusnya jaksa menolak dan tidak bisa meneruskan ke ranah persidangan karena ada cacat dalam kelengkapan P21. Hakim pun sejogjanya sudah mendeteksi adanya upaya pendzoliman atas pak Tea yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bisa dituntut. Hukum di negeri ini, semua seperti dongeng,” kritiknya.

Sekedar diketahui, kasus dugaan surat domisili palsu Christea berawal dari kisruh kepengurusan Unikama yang terjadi antara Soedjai dan Christea. Keduanya mengklaim sama-sama memiliki SK Kemenkumham. Yang terjadi kemudian, saling memblokir rekening tabungan, giro dan deposito milik PPLP-PT PGRI.

Soedjai dan Christea saling memblokir rekening tabungan, giro dan deposito milik PPLP-PT PGRI di Bank BNI Cabang Malang, Bank CMB Niaga Cabang Malang, Bank BTN Cabang Malang, Bank Mega Syariah Cabang Malang, Bank Jatim Malang, dan Bank BCA Cabang Malang.

Saat itu muncullah Julianto Dharmawan, mantan pengacara Christea Frisdiantara yang menjanjikan dapat memberikan bantuan hukum dan mengajukan permohonan ijin dalam rangka perubahan specimen tanda tangan pada rekening tabungan, giro dan deposito milik PPLP-PT PGRI melalui penetapan Pengadilan Negeri Malang namun pada akhirnya ditolak.

Julianto adalah pengacara PPLP-PTGRI yang dikemudian hari diragukan integritas profesinya oleh Christea Frisdiantara dan para pengurus lainnya. Julianto menjanjikan kepada Christea dapat menguruskan penetapan dari pengadilan untuk mengurus seluruh aset PPLP-PTPGRI. Untuk mengurus itu, Julianto mendapat surat kuasa dari PPLP-PTPGRI yang ditandatangani oleh Christea dan Bendara PPLP-PTPGRI.

Awalnya Julianto mendapat dana sebesar Rp 250 juta dari Christea untuk mengurus penetapan. Namun penetapan itu tidak berhasil didapatkan oleh Julianto dari PN Malang.

Julianto lantas mengajukan permohonan penetapan KE di PN Sidoarjo. Syaratnya, Christea membeli rumah di Sidoarjo dan memiliki surat keterangan domisili terlebih dahulu. Untuk itulah, Julianto kemudian menawarkan rumah milik Puguh agar dibeli Christea.

Seperti proses jual beli rumah yang normal, Christea kemudian melihat rumah Puguh dan disepakati kemudian Christea membayar uang muka dengan didahului Perjanjian Pengikatan Jual Beli Notariil di Sidoarjo. Setelah itu Christea diminta oleh Julianto memberikan surat kuasa kepada Puguh untuk mengurus surat domisili.

Surat Domisili tertanggal 7 Mei 2018 itu berbunyi, bahwa Christea yang beralamat di Malang bukan penduduk Magersari, namun saat ini beralamat di Magersari. Surat Domisili diperlukan untuk mengakukan KPR di bank Mandiri Syariah Sidoarjo. Surat Domisili itu diterima Puguh dari pihak Kelurahan Magersari.

Namun setelah selesai dari Lurah Magersari, oleh Puguh surat domisili itu tidak diberikan kepada Christea, tetapi langsung diberikan kepada Julianto. Lalu Julianto mengajukan permohonan kepada PN Sidoarjo.

Anehnya, draft permohonan penetapan tidak pernah dikonsultasikan kepada Christea sama sekali dan hanya diinformasikan bahwa permohonan sudah masuk dan untuk itu Christea diminta untuk menyiapkan bukti dan saksi.

Singkat kata, surat penetapan dari PN Sidoarjo diterima oleh Christea. Berbekal penetapan itu, Christea mengajukan permohonan perubahan spesimen dengan melampirkan dokumen pendukung sebagai syarat perubahan spesimen.

Menurut pengakuan Christea, pihaknya tidak pernah memberikan kuasa lagi kepada Julianto untuk ajukan penetapan di PN Sidoarjo. Surat kuasa yang dipakai oleh Julianto yang ada tandatangan Christea sendiri tidak pernah diketahui Christea.

Christea tahunya hanya satu kuasa yaitu yang tanggal 28 Maret 2018 yang ditandatangani berdua bersama bendahara. Itu saja.

Saat itu Christea tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka oleh Unit V Harda Satreskrim Polresta Sidoarjo setelah menerima laporan Lurah Magersari, Sidoarjo, Mochammad Arifin. Dalam laporan polisi nomor: LPB/304/VII/2018/Jatim/Resta SDA, dosen itu dilaporkan membuat surat palsu atau memalsukan surat keterangan domisili di Sidoarjo Kota.[aji

ikuti terus update berita rmoljatim di google news