MANTAN Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir bukan terdakwa pertama yang divonis bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
- Lotre Covid
- Atasi Kebutuhan Mendesak, Mikro Hidro Solusi Terangi Pulau Nias
- Masyarakat Sipil Harus Kompak Melawan Penundaan Pemilu
Terdakwa pertama, Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dalam perkara penyuapan anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar.
Terdakwa kedua, Bupati Kabupaten Rokan Hulu Suparman dalam kasus tindak pidana korupsi pembahasan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Perubahan provinsi Riau 2014 dan APBD 2015.
Terdakwa ketiga, Sofyan Basir divonis bebas pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 November 2019 dalam perkara pembantuan kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Bebasnya Sofyan Basir, publik tentu mempertanyakan penegakan hukum KPK ke depan.
Selama ini KPK selalu dikesankan sebagai lembaga superbodi. Bunyi pasal 3, status dan sifat serta kewenangan KPK sebagai lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Sebagai lembaga superbodi, sangat kecil kemungkinan KPK melakukan kesalahan. Apalagi dengan alat penyadapan canggih yang dimilikinya.
Sebelum melakukan penyadapan, KPK mengeluarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang ditandatangani lima komisioner KPK.
Tidak ada pekerjaan KPK yang sia-sia atau asal-asalan. Nomor sadapan harus ada kaitannya dengan proses penegakan hukum. Dengan kecanggilan alat sadap ini, seharusnya KPK minim kesalahan.
Namun, bebasnya Sofyan Basir menunjukkan bahwa penegakan hukum di KPK masih ada kelemahan.
Dari sekian banyak kasus korupsi di Indonesia -- yang sudah terjadi dan akan terjadi -- rata-rata kasus korupsi yang dibongkar KPK bukan dari hasil temuan.
Dari sekian banyak narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin, hanya satu atau dua kasus korupsi berdasarkan temuan KPK.
Artinya, KPK dalam mengungkap kasus korupsi juga tidak independen-independen amat. KPK baru bergerak jika ada laporan masuk. Baik laporan resmi maupun nonresmi.
Penegakan hukum KPK sangat kental bermuatan politis dan bisnis. KPK tebang pilih? Tidak juga. KPK hanya menebang pohon yang sudah jelas lokasinya. Tapi, untuk menebang pohon juga tidak sembarangan. Dibutuhkan ketelitian dan kehati-hatian.
Di sini KPK cenderung mengajak kita bermain tebak-tebakan. Siapa besok ditangkap, siapa besok kena OTT.
KPK tidak akan menebang pohon yang berada dalam perlindungannya, atau mungkin kebalikannya, KPK dilindungi dan dikendalikan pohon tersebut.
Di dalam KPK sendiri, seperti banyak diberitakan, wadah pegawai KPK telah menjadi kelompok politik. Mereka disebut-sebut telah dikendalikan banyak faksi.
Dari sekian faksi kemudian mengerucut ‘hanya’ dua faksi. Dua faksi ini memiliki kekuatan superbodi melebihi KPK.
Bagi dua faksi ini, KPK adalah aset. Aset untuk menekan lawan politik dan bisnis. Akibatnya, hukum di KPK seperti hukum rimba.
Wadah pegawai berubah menjadi wadah politik.
Pakar Hukum Pidana, Romli Atmasasmita, yang merupakan pendiri sekaligus perancang UU KPK, pernah melakukan kajian atas anggaran yang dikeluarkan negara pada pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurutnya, penanganan korupsi telah menghabiskan dana mencapai Rp50 triliun. Sementara pengembalian kerugian negara belum mencapai Rp10 triliun.
Keniscayaan KPK semakin melebar. Terlebih ketika KPK hanya melakukan OTT recehan. Padahal dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, telah diatur bahwa penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK terkait kerugian negara di atas Rp1 miliar.
Terlalu mubazir anggaran sebesar itu dipakai untuk mengejar koruptor-koruptor kecil yang notabene sesuai ‘pesanan’.
Kini, UU KPK sudah disahkan. Ada pro kontra, iya. Sejumlah kalangan ada yang tetap mendesak presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK.
Namun sejauh ini Presiden Joko Widodo memastikan tidak akan menerbitkan Perppu KPK. Presiden beralasan menghormati proses uji materi UU KPK yang tengah berjalan di Mahkamah Konsitusi.
Keputusan Jokowi tidak menerbitkan Perppu dinilai sebagai cara mengambilalih KPK dari faksi-faksi tadi.
Terlebih, ada rencana Jokowi menanggalkan mekanisme pemilihan Dewan Pengawas KPK melalui panitia seleksi. Ini dinilai mengandung maksud tersembunyi. Ada kesan Jokowi ingin mengendalikan lembaga antirasuah tersebut.
Regulasi pengangkatan Dewan Pengawas KPK yang tercantum dalam UU nomor 19 Tahun 2019, memang sarat ketidakpastian. Padahal semua sudah disebutkan dalam aturan pengangkatan Dewan Pengawas KPK dalam UU KPK versi revisi, tercantum dalam Pasal 37 E ayat (2). Akan tetapi, potensi kebijakan seperti yang dilakukan Jokowi, memang mungkin terjadi.
KPK dalam dilema, tentu. Keluar mulut harimau, masuk mulut buaya.
Namun terlepas dari itu, KPK kini harus dikembalikan ke tracknya sesuai pasal 3 yakni bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Harapan publik ada pada Irjen Firli Bahuri, Ketua KPK terpilih periode 2019-2023 yang akan dilantik pada 21 Desember mendatang.
Akankah Firli mampu membawa KPK lepas dari bayang-bayang pengaruh kekuasaan sebelumnya atau sebaliknya, terjerembab dalam pengaruh kekuasaan baru? Kita tunggu saja.
Noviyanto Aji
Wartawan
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Lurah dan Penjabat Kepala Daerah, Jangan Pertaruhkan Karir Anda
- Jangan Salah Paham terhadap Anies
- Ada Apa Dengan KPU?