SALAH satu isu penting di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah integritas. Ini bukan perkara enteng dan jangan dianggap enteng, sebab sekali integritas itu dipertanyakan publik. Maka, taruhannya tentu kredibilitas lembaga peradilan tersebut, juga putusan-putusan yang dihasilkan lembaga terkait. Wajar saja jika belakangan sejumlah PTUN di Indonesia menggelar kampanye publik komitmen lembaga tersebut untuk menjadi lembaga berintegritas.
Melalui kampanye zona integritas, PTUN di berbagai daerah berusaha meyakinkan publik, bahwa lembaga tersebut benar-benar ingin meneguhkan diri sebagai lembaga berintegritas yang menghasilkan putusan-putusan kredibel.
Bahkan pada awal Januari 2024, melalui portal lembaganya, Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjung Pinang mengekspose ''Pakta Integritas''.
Pakta ini ditanda-tangani ketua PTUN langsung dan bisa dibaca publik. Kalimat dalam pakta itu secara tegas menyebut ''tidak akan melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme''. Dan selembar kertas yang diunggah itu berkop surat PTUN, diakhiri dengan tanda-tangan di atas meterai sepuluh ribu. Artinya, ini pernyataan resmi dari PTUN kepada publik. Bentuk tranparansi kepada publik. Harapannya, tentu saja kredibilitas lembaga serta putusan dari lembaga menjadi naik dan publik mempercayai apapun putusan PTUN daerah tersebut.
Niat itu boleh-boleh saja. Apalagi, niat baik yang diungkapkan melalui cara kampanye publik. Itu sudah langkah bagus. Meski, yang ditunggu oleh publik justru hasil-hasil putusan PTUN yang benar-benar memenuhi rasa keadilan publik. Bukan sekadar pernyataan resmi apalagi klaim sepihak. Nah, di sinilah persoalan antara kepercayaan publik dan kehadiran PTUN. Terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sarat dengan nuansa politik.
Sebagaimana diketahui, putusan KPU yang bersifat proses menuju hari-H pencoblosan rawan digugat ke PTUN. Sebab, putusan proses bukan putusan hasil. Asalkan putusan proses itu memenuhi kriteria final, kongkret dan individual.
Tiga kriteria itu menjadi pintu masuk bagi pencari keadilan di PTUN, dan para pencari keadilan tersebut tentu saja yang paling utama adalah para kontestan Pilkada yang berhubungan langsung dengan KPU. Ketika kontestan itu menemukan ada ketidakberesan dalam putusan KPU, lalu menggugatnya di PTUN untuk diuji apakah putusan KPU itu sudah berdasar di atas alasan-alasan hukum yang kuat atau tidak.
Ketika putusan KPU sudah masuk ranah PTUN, maka sejak saat itulah sesungguhnya klaim integritas PTUN mulai diuji. Apakah PTUN bisa benar-benar mandiri serta kredibel dalam menentukan putusan atau tidak. Sebab, yang akan masuk ke ranah itu bukan saja KPU yang digugat, melainkan juga kontenstan Pilkada sebagai penggugat beserta partai politik pengusungnya. Situasi ini sudah bukan murni perkara hukum. Partai politik dan kontestan Pilkada mempunyai kepentingan politis, termasuk mereka akan berusaha semaksimal mungkin memenangkan gugatan. Segala cara bisa dilakukan, yang penting gugatannya dikabulkan PTUN.
Di situlah kerawanan bisa terjadi yang menjadi batu ujian integritas PTUN. Segala klaim dalam pakta integritas atau semangat dalam zona integritas PTUN, dipertaruhkan saat berhadapan dengan situasi itu. Sampai kini belum terdengar bagaimana cara jitu PTUN memitigasi situasi tersebut jika terjadi agar PTUN tetap bisa menjaga integritas serta mampu mempertahankan kepercayaan publik pada lembaga tersebut.
Mahasiswa FH Universitas Merdeka, Pasuruan
ikuti terus update berita rmoljatim di google news