- Protokol Rakyat
- ISI, Telik Sandi Pakistan Yang Disegani
- Kesepakatan Jokowi-Xi Jinping Diam-diam Memiliki Potensi Risiko Laten Ekonomi Indonesia, Apa Saja?
SEJARAWAN Harry Benda menyebut Soekarno “dramatis personae”. Kembar jiwa pemikir sekaligus pemain politik, yang naik ke tampuk kekuasaan sebagai pemersatu bangsa.
Pembangkit nasionalismenya ialah jutaan rakyat yang menderita dan dieksploitasi.
Kreativitasnya sebagai pemikir ialah Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.
Di negeri ini, jadi presiden harus merangkul semua golongan. Dogma “yang penting nasionalis” adalah kesimpulan yang salah.
Soekarno nasionalis inklusif. Titik temu antara Islam dan Nasionalis (atau sebaliknya) dan kelompok-kelompok lainnya sangat diperlukan.
Kunci dari nasionalisme Indonesia yang sesungguhnya ialah tidak boleh phobia terhadap agama apapun.
Negeri dan bangsa ini tidak akan hancur oleh karena perbedaan-perbedaan. Juga tidak karena alamnya. Kehancuran bisa terjadi akibat cara pandang nasionalisme sempit elite kekuasaan.
“Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menselijkheid*. Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan ...” kata Soekarno.
Sengaja mengembangkan phobia terhadap Islam seperti yang terjadi sekarang misalnya, sangat membahayakan persatuan bangsa. Islamphobia dengan subtema radikal-radikul sebenarnya hanya mainan segelintir minoritas yang menganut nasionalisme sempit.
Segelintir minoritas ini bertingkah persis seperti kelompok agama tertentu di Amerika Latin sampai era tahun ‘90-an, yang mendekat kepada kekuasaan diktator militer.
Gelombang protes publik waktu itu akhirnya muncul menamakan diri Teologi Pembebasan, menentang kelompok agama ini agar mau berpihak kepada rakyat.
Arief Gunawan
Pemerhati Sejarah
*Menselijkheid = Kemanusiaan.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Buku Baru Admiral Rosihan Arsyad
- Perppu Ciptaker Membuka Ruang Pemakzulan Presiden
- Samarinda Toraja