SEORANG kiai ahli tasawuf asal Nganjuk tiba-tiba menuding santrinya kafir. Si santri diam. Sejenak kemudian menatap wajah sang kiai. Seakan ingin mencari pembenaran dari kata-kata tadi.
- Pacar Beda Status Sosial Berakhir Pembunuhan
- Di Depan Rizal Ramli, Jenderal Yayat Prihatin: “Ini Pemerintahan Kumaha Aing ...”
- Enam Jurus Mewujudkan Polisi yang Baik
"Tapi kiai, saya kan Muslim,†bantah santri.
"Kamu tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya,†balas kiai.
"Saya percaya!â€
"Apa kamu tahu siapa Allah, siapa rasul, sebesar apa keyakinanmu kepada Allah dan rasul? Bisakah kau lukiskan?â€
Si santri diam. Tak berucap.
Penyebutan kata kafir sebenarnya sudah lumrah di kalangan internal Islam. Sebab, itu masuk ranah privat. Sesama Muslim kadang saling mengkafirkan satu sama lain. Seperti cerita di atas tadi. Namun dalam konteks yang baik. Mengingatkan sesama Muslim.
Bagaimana dengan non-Muslim? Sejauh ini umat Islam di Indonesia menjaga budaya tepa slira dalam hal toleransi keberagaman. Nyaris tidak pernah ditemui seorang Muslim menyebut orang dengan sebutan kafir di depan non-Muslim lain, kecuali dalam urusan dakwah. Itu pun disampaikan dalam forum resmi seperti pengajian di masjid, mushala atau langgar.
Sejak dulu, tidak pernah ada masalah dengan pelabelan kafir. Orang tidak bermusuhan dan berselisih gara-gara label tersebut. Muslim maupun non-Muslim hidup berdampingan.
Namun tiba-tiba kalangan Nadhlatul Ulama (NU) dalam hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) 2019, menghapus label ‘kafir’ bagi non-Muslim, dan mengganti dengan muwathinun atau warga negara.
Apapun alasan mereka meski dibalut dengan metode keilmuan dan paradigma, label kafir sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Selama ini umat Islam meyakini orang-orang di luar Islam adalah kafir. Kalangan non-Muslim juga tidak pernah marah.
"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat." Q.S. 2:6-7
Istilah kafir sudah menjadi bagian dari teologi Islam. Dalam Alquran sudah gamblang penjelasannya. Tidak perlu dipertegas lagi.
Nah, pertegasan NU soal penghapusan kafir bagi non-Muslim justru akan mendegradasi Alquran dan konsep keislaman itu sendiri. Padahal Alquran adalah wahyu Allah. Meminjam istilah Kiai Luthfi Bashori, Pengasuh Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang, Alquran kok diamandemen.
Yang ditangkap publik penghapusan label kafir bagi non-Muslim, karena pelafalan kafir terkesan kejam, jahat, dan tabu. Maka, perlu direvisi. Dalilnya yang itu-itu juga: toleransi, keberagaman, menjaga keutuhan bangsa. Ya, Islam ‘dipaksa’ menyerah pada keadaan.
Padahal sejak jaman jahiliyah, sempat terjadi perdebatan antara orang Islam dan non Islam, seperti penjelasan Ustadz Adi Hidayat. Namun setelah turunnya surah Al Kafiruun, perdebatan hilang dengan sendirinya. Mereka yang disebut kafir tidak marah.
Abu Jahal, Abu Lahab, dan abu-abu lain tidak marah disebut kafir. Sebab, mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang menutup diri.
Ustadz Abdul Somad kurang lebih sama. Menurut dia, penghapusan label kafir bagi non-Muslim kurang tepat. Mengapa demikian? Sebab dari dulu kalimat Allah yang dibaca memang kafir.
Andai kata kafir dihapus dan diganti non-Muslim, malah membuat mereka sulit membaca ayat-ayat Alquran. Sebab ayatnya akan berganti. Tentunya akan sulit bagi mereka yang tengah memperjuangkan kebenaran melawan kebatilan.
Di kebanyakan kalangan non-Muslim juga demikian. Selama ini mereka tidak menolak disebut kafir. Mereka paham istilah tersebut hanya ada dalam keyakinan Islam, bukan keyakinan mereka. Justru mereka khawatir jika tidak disebut kafir, berarti dianggap masuk Islam.
Kata kafir bagi orang Islam diperuntukkan bagi orang-orang yang berada di luar Islam. Kalau pemeluk agama lain disebut kafir seharusnya tidak perlu marah, karena itu menunjukkan identitas mereka berada di luar Islam.
Terlebih, istilah kafir tidak ada sangkutpaut dengan urusan konstitusi dan kenegaraan, tidak pula urusan keberagaman.
Yang menjadi pertanyaan, apa latarbelakang NU mengangkat tema itu?
Ada sejumlah analisa, keputusan NU menghapus label kafir bagi non-Muslim sebenarnya untuk mendowngrade kekuatan kelompok-kelompok Islam yang tergabung di 212. Mengapa begitu?
Setelah kasus Ahok, kelompok ini menjelma menjadi kekuatan monumental dan bersejarah. Sejauh ini kelompok 212 dianggap berseberangan dengan pemerintah Joko Widodo (Jokowi), dan lebih pro Prabowo Subianto.
Wajar kubu Jokowi selalu nyinyir dengan gerakan 212, terutama NU di tingkat struktural. Sementara di sisi lain, banyak warga NU kultural tergabung dalam 212. Nyinyiran yang selalu muncul menyebut gerakan 212 sebagai misi agama berkedok politik.
Hal itu dapat dilihat betapa militansinya kelompok 212 saat mengawal suara pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Mereka datang ke TPS-TPS, memantau jalannya pencoblosan hingga penghitungan suara, meski hanya sebatas relawan dan saksi luar.
Militansi inilah yang membuat panik kubu seberang. Yang sekuler, yang liberal, yang orientalis, menganggap gerakan 212 susah dibendung dengan akal sehat. Sebab semangatnya adalah persatuan umat Islam, semangatnya adalah penguatan aqidah, semangatnya adalah perubahan. Sementara di rezim sekarang, justru kebalikan. Banyak ulama yang dipersekusi dan dipidana. Hukum dibuat setumpul-tumpulnya bagi para pewaris nabi.
Maka, jalan satu-satunya adalah menggoyahkan akal sehat tersebut. Dan, narasi yang dibangun menghapus label kafir bagi non-Muslim. Wallahua’lam [***]
Penulis adalah wartawan. Artikel ini dikirim untuk Kantor Berita
ikuti terus update berita rmoljatim di google news