- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Perempuan Bukan Pion Lelaki
- Dari Akal Imitasi Menuju Kesadaran Buatan
SEMBOYAN negara kita ''Bhinneka Tunggal Ika'' merupakan pernyataan penting yang selalu relevan pada tiap zaman. Kita berbeda-beda dalam hal etnik, latar-belakang, agama, kebudayaan, ras dan bahkan golongan, namun ada satu tekad yang tetap terjaga. Yakni, menyatu dalam perbedaan tersebut. Perbedaan bukan penghalang saling berinteraksi, baku kerja, saling kenal dan akrab. Melalui kebhinekaan kemudian kita bisa mengelola perbedaan secara indah dan baik.
Semua bangsa multi-etnik, multi-agama atau multi-ras membutuhkan pengelolaan perbedaan secara baik. Tentu tidak mudah mengelola perbedaan ini, namun dikarenakan tekad yang kuat, maka pengelolaan tersebut bisa berujung saling percaya satu sama lain yang mempererat rasa kewargaan. Meski tak bisa dipungkiri, dalam mengelola perbedaan tersebut sering muncul stereotipe terhadap kelompok atau komunitas tertentu.
Uniknya, dalam konteks Indonesia, stereotip (pandangan atau keyakinan terhadap komunitas atau kelompok tertentu yang berbeda) malah bisa menjadi bahan candaan. Dalam candaan ini, tidak ada rasa dendam, rasa benci atau rasa terpojok saat antar warga berbeda berinteraksi atau bercanda. Misalnya, dalam beberapa kasus, seperti meniru logat etnik tertentu di depan komunitas etnik tersebut atau di depan umum, justru malah mendorong keakraban. Itu terjadi jika suasana kedewasaan menerima perbedaan telah meresap dengan baik.
Ekspresi meniru logat tak dianggap mengolok-olok. Ekspresi meniru gestur tubuh etnik tertentu tak dipandang mengejek. Bagi mereka yang dewasa dalam perbedaan, peniruan ekspresi hanya sarana guyon, cuma cara bercanda demi keakraban. Namun sebaliknya, bagi mereka yang terlalu serius menyoal peniruan itu, maka respon yang diperlihatkan biasanya ketersinggungan. Merasa etniknya direndahkan, merasa sukunya diejek. Ujungnya, ketegangan mengarah konflik. Biasanya, situasi ini juga dipantik oleh informasi-informasi sesat yang menyebar cepat lalu dipercaya oleh mereka yang tak kritis.
Nah, buku ini menjelaskan kesalahan stereotip. Dalam bingkai etika, dimulai dengan anggapan umum tetapi kontroversial, bahwa stereotip adalah salah secara moral. Kesalahan itu bisa diperhatikan dari begitu mudahnya stereotip dilekatkan pada kasus terorisme, prostitusi, pembunuhan, cuci otak, pelecehan seksual, bahkan dalam perbudakan. Misalnya, siapa saja muslim berjidat hitam bercelana cingkrang berjenggot lebat adalah calon teroris, atau perempuan berjilbab atau memakai niqab punya kecenderungan radikal. Belakangan ini, stereotip ''calon teroris'' itu yang berkembang pesat akibat program perang lawan terorisme.
Penulis buku ini, Erin Beeghly, adalah gurubesar filsafat Universitas Utah, AS. Buku karyanya ini memuat delapan bab yang mengulas stereotip secara mendalam. Diawali dengan teorisasi stereotip, Beeghly menyatakan untuk membuat stereotip sebuah grup atau kelompok biasanya lewat mengkarakterisasi kelompok itu sebagai entitas kolektif. Stereotip seseorang berarti menilai orang itu berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok. Misalnya, ciri-ciri dari sebuah kelompok teroris adalah berjenggot, jidat hitam, celana cingkrang. Lalu, muncul stereotip terhadap muslim jidat hitam bercelana cingkrang dan berjenggot, maka ia radikalis ''calon teroris''.
Meskipun ciri-ciri semacam itu lemah tapi terbukti efektif untuk memojokkan kelompok muslim tertentu. Terutama kelompok muslim kritis pada kebijakan penguasa. Pemakaian stereotip semacam itu jelas serampangan, ngawur dan tak berdasar bukti sahih. Hanya berdasar pada stereotip lalu disebar lewat media sosial dan diviral para pendengung (buzzer/influencer). Ironinya, media massa yang semestinya kritis korektif terhadap rezim, justru malah ikut memperkuat stereotip tersebut melalui konten liputan-liputan tendensius.
Menurut Beeghly, stereotip terkait dengan fenomena lain yang menarik, yakni diskriminasi. Stereotip menyebabkan diskriminasi ketika orang mengartikulasikan stereotip dalam ucapan dan menindaklanjutinya dalam perbuatan. Misalnya, pernyataan seorang pejabat aparat keamanan yang menyatakan ciri-ciri ''calon teroris'' atau karakteristik figur radikal, lalu media menyebarkan ciri-ciri itu tanpa kritisisme sama sekali. Maka, pejabat dan sarana apapun yang mendukung/menyebarkan ujaran stereotip itu bisa dikategorikan sebagai upaya untuk mendiskriminasi. Upaya menyingkirkan orang atau kelompok dalam masyarakat yang dianggap sebagai ''ancaman''.
Lebih lanjut, secara tegas Beeghly menyatakan bahwa stereotip itu sendiri merupakan bentuk diskriminasi. Penegasan ini, ujar Beeghly, adalah klaim konstitutif. Klaim konstitutif adalah sebuah klaim atau tuntutan yang berkaitan dengan pembentukan atau perubahan hukum, bukan sekadar interpretasi atau penerapan hukum yang sudah ada. Artinya, ketika ujaran stereotip itu dikemukakan seorang pejabat kepada figur atau kelompok tertentu, maka ujaran itu sarat tuntutan untuk meminggirkan atau memojokkan figur atau kelompok tertentu secara hukum melalui perubahan regulasi yang lebih keras dan ketat terhadap kelompok yang disasar.
Ala kulli hal, stereotip sesungguhnya telah berlangsung di Indonesia sejak era kemerdekaan hingga hari ini. Keberlangsungan stereotip ini terjadi karena ketidakdewasaan oknum-oknum pejabat atau elit politik terhadap perbedaan yang ada. Ketika kritik dicurigai makar, ketika koreksi publik dianggap melawan atau membangkang, maka cara yang ditempuh oknum pejabat atau elit politik adalah dengan menebar stereotip untuk memojokkan warganegara yang kritis.
Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Perempuan Bukan Pion Lelaki
- Dari Akal Imitasi Menuju Kesadaran Buatan