Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jawa Timur (FSP RTMM - SPSI Jatim) telah melakukan kajian dengan tim advokasi Industri Hasil Tembakau (IHT). Dalam kajian terkait Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tersebut banyak ditemukan kandungan klausul yang kontra produktif terhadap pengembangan IHT.
- Cegah Polemik, DPRD Surabaya Minta Pengumuman Retribusi Foto di Balai Pemuda Dicabut
- Komisi A Dukung APH Usut Proyek Box Culvert Disidak Wali Kota Eri, Temukan yang Rugikan Keuangan Negara
- Buka JNFI 2022, Gubernur Khofifah Ajak Fotografer Turut Promosikan Keindahan Bromo
“Sehubungan dengan telah disahkannya Perpres no. 18 tahun 2020 tentang RPJMN 2020 – 2024, FSP RTMM - SPSI Jatim telah melakukan kajian dan dalam kajian tersebut banyak ditemukan kandungan klausul yang kontra produktif terhadap pengembangan IHT,” tegas Pimpinan Daerah FSP RTMM - SPSI Jatim, Ir Purnomo, melalui pesan singkat yang diterima Kantor Berita RMOLJatim, via telepon, Senin (13/7).
Hal ini utamanya di bidang non fiskal di mana RPJMN mengamanatkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) no 109 tahun 2012. Revisi yang dimaksud ialah melakukan perluasan gambar peringatan kesehatan pada kemasan rokok hingga 90%, melarang iklan dan promosi rokok serta mengetatkan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok.
Purnomo menjelaskan, di tengah kenormalan baru akibat pandemi COVID-19 ini, seharusnya pemerintah tidak menerbitkan kebijakan yang menghambat pemulihan industri, seperti kenaikan cukai yang terlalu tinggi dan revisi PP no 109/2012.
Dia mengatakan, patut diduga bahwa kerangka klausul dalam RPJMN yang digunakan untuk mengatur IHT tidak melihat keadaan industri yang saat ini telah terpuruk dengan kenaikan cukai dan minimum harga jual eceran yang sangat tinggi di tahun 2020 serta ekonomi yang lesu akibat pandemic COVID-19.
Akibatnya, kontribusi IHT yang sangat besar terhadap penerimaan negara jadi diabaikan dalam penyusunan kerangka RPJMN. Padahal, pada kenyataannya kontribusi besar dari sektor IHT juga digunakan untuk mendukung sektor kesehatan seperti untuk pembiayaan jaminan kesehatan nasional (JKN).
Dalam kajiannya FSP RTMM - SPSI Jatim mendapati bahwa dalam kurun waktu lima tahun belakangan (2015 - 2020), total rata-rata kenaikan cukai sudah sebesar 70% dengan kenaikan cukai rokok yang paling besar di tahun 2020 sebesar 23%.
“Kami berharap di setiap kebijakan untuk sektor IHT para stakeholders dilibatkan, termasuk sektor industri dan ketenagakerjaan,” tambah Santoso, S.H., M.H, selaku sekretaris Pimpinan Daerah FSP RTMM - SPSI Jatim.
Ia menegaskan bahwa jika mengacu pada standar prosedur perumusan publik harus ada tiga dimensi yang dipenuhi yakni; transparansi, partisipasi dan dukungan bukti.
Hal ini karena kebijakan yang digunakan untuk meregulasi IHT berdampak besar pada kelangsungan industri dan tenaga kerja. Berdasarkan dari data FSP RTMM - SPSI, dalam kurun waktu 10 tahun ada sebanyak 60.899 anggota FSP RTMM – SPSI yang bekerja di sektor rokok yang telah kehilangan pekerjaan karena penutupan perusahaan.
Dengan semakin terpuruknya kinerja IHT dan mengingat bahwa provinsi Jawa Timur merupakan sentra IHT terbesar secara nasional, maka, Purnomo, menyatakan bahwa Pimpinan Daerah FSP RTMM - SPSI Jatim yang mempunyai anggota yang tersebar di 20 pimpinan cabang di tingkat kab/kota dan 173 unit kerja di tingkat perusahaan di Jawa Timur saat ini memohon kebijaksanaan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemenkeu agar di tahun 2021 menaikkan cukai rokok mesin dengan nilai moderat serta tidak menaikkan cukai untuk rokok SKT.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pasca Pemilu 2024, Ketua KPU Bondowoso Kerap Terima Curhat Caleg Gagal
- Dianggap Pembangunan Kurang Merata, Bos Pengeboran Sumur Calonkan Kepala Desa
- Bag Film Moana, Premiere School of Ballet Sukses Pukau Penonton dengan Kolaborasi Seni Tari Balet dan Dansa