Ketika Guru PAUD Belajar Politik

ADA kekuatan besar yang selama ini terabaikan. Ada harta karun yang berpotensi mendulang keemasan negeri ini terabaikan. Hampir semua tidak pernah menoleh soal ini, calon pemimpin negeri, calon wakil rakyat menoleh, para profesional hingga akademisi.


Betul, itu yang bisa dilihat langsung dampaknya dengan janji-janji harga-harga diturunkan, kebutuhan pokok, listrik, air, BBM turun 500 perak saja akan menjadi berita besar, euforia di tengah masyarakat.

Sehingga potensi besar yang ini sering terabaikan. Siapa? Para pendidik anak usia dini. Anak usia dini dianggap bukan pemilih, dan jauh dari tujuan pemenangan pemilu. Keliru, jika masih berpendapat demikian. Justru PAUD akan menjadi potensi besar jika paham betul bonus demografi yang akan terjadi pada tahun 2045, tepat ketika 100 tahun Indonesia merdeka.

Kita tidak mungkin panen dengan hasil baik, jika dalam menumbuhkan bibit-bibit potensi sejak dini tidak profesional cara pengelolaan dan merawatnya.

Blue print atau cetak biru setiap anak didik berkembang luar biasa di usia keemasan yaitu 2-5 tahun. Pembentukkan karakter dan stimulus untuk merangsang kognitifnya agar matang, siap melanjutkan pendidikan berikutnya terjadi di usia tersebut.

Jika beres dan tuntas sesuai tumbuh kembangnya, maka akan menjadi pondasi kuat untuk menapaki bahkan melontar di jenjang pendidikan berikutnya. Masa keemasan itu tidak terulang lagi.

Untuk itulah diperlukan kecakapan dan profesionalisme seorang pendidik anak usia dini.

Tidak mudah menumbuhkan potensi anak didik sesuai dengan cetak birunya, karena itu di Finlandia, Jepang, Australia, Austria, Korea, Amerika, London, dan negara-negara maju lainnya, para pendidik anak usia dini minimal berpendidikan strata dua (S2).

Pendidik harus mengetahui potensi setiap anak didiknya, kemudian menumbuhkan untuk menjadi kekuatan dasarnya. Memberi stimulus atau rangsangan untuk kemampuan kognitifnya, agar kelak mudah mempelajari ilmu-ilmu lainnya, dengan dasar membaca, menulis, berhitung sesuai aspek tumbuh kembangnya.

Membentuk karakter yang baik bahkan mulia lewat perilaku dan sikap yang dicontohkan langsung oleh guru dan lingkungan sekitarnya. Ini semua "wajib" dituntaskan di PAUD. Sangat layak jika kesejahteraan guru PAUD "dipantaskan" dan wawasannya perlu diupgrade terus.

Di Indonesia, masih banyak yang bergelar "S3 kecil", lulusan SMA maksudnya (SD, SMP, SMA), terutama di PPT Pos PAUD Terpadu, atau PAUD non formal. Sebagian besar profesi utamanya ibu rumah tangga yang punya waktu luang mengajar. Bahkan usianya dominan di atas 35-40 tahun. Bisa dibayangkan?

Betapa tidak seriusnya kita menyiapkan generasi millenial yang diharapkan tangguh dan bermartabat membawa negeri ini kembali di hargai dimata dunia. Hal ini juga terlihat dari sulitnya para pendidik untuk menambah wawasan dengan belajar lagi di bangku kuliah, karena kendala biaya. Bahkan honor sebulan para pendidik PAUD nonformal masih jauh di bawah UMR.

Honor sebulan 200-300 ribu saja, itu pun diberikan atau dibayarkan per-3 bulan. Kenapa para guru masih bertahan, karena dijanjikan kelak mendapat Jannah, Syurga. (Masya Allah...Alhamdulillah, Qabul yaa Rabb. Tapi dengan catatan mendidiknya juga tidak asal-asalan, terus bisa menjaga senyum atau keceriaan anak-anak, lho ya)

Tidak serius yang berikutnya adalah, untuk melanjutkan S2 PAUD, juga tidak semua Universitas di negeri ini menyelenggarakan. Tidak lebih dari 10 jari saya, yaitu, UNJ (Jakarta), UNY (Yogyakarta), UPI (Bandung), Unesa (Surabaya), dan UM (Malang). S3 apalagi, hanya di UNJ. Itupun masih program konsentrasi.

Moratorium membuka program S1 PAUD juga belum dibuka sampai tahun 2018. Semoga tahun ini dengan Presiden baru moratorium S1 PAUD bisa dibuka, dan kesejahteraan para pendidik PAUD ditinjau ulang.

Jika menginginkan generasi millenial kita berakal sehat dan bermartabat, maka akal sehat para pendidik PAUD harus dihargai. Berikan asupan ilmu mendidik anak usia dini, dampingi dengan kesejahteraan yang layak, dan sempurnakan dengan kesempatan belajar lebih tinggi sampai S3, bahkan menjadi Profesor PAUD.

Satu hal terpenting, memang anak didik atau murid kami bukan pemilih, tapi ingat anak didik kami punya keluarga, ada ayah ibu, kakek nenek, om tante, Aa', dan Teteh.  Mereka semua adalah bagian dari keluarga PAUD. Ini akan menjadi gerakan seperti bola salju. Menggelinding membesar dan semakin besar.

Guru yang berakal sehat akan mampu mempengaruhi pilihan mereka, untuk memilih pemimpin yang jujur, berani, dan adil bagi seluruh rakyat. Pemimpin yang juga peduli pada generasi millenial sebagai penerus serta pewaris sah kekayaan negeri ini. Semua menang. Hati-hati ketika guru PAUD belajar politik. Apalagi 96% dari kami adalah emak-emak.[***]

Penulis adalah praktisi dan pemerhati pendidikan anak usia dini

ikuti terus update berita rmoljatim di google news