Ketika Khofifah Mantu

GUBERNUR mantu, Surabaya macet. Itulah yang terjadi Sabtu (29/6) saat Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menikahkan putri pertamanya, Ima Patimangsa.


Hampir sepuluh ribu orang antre mengular di Convention Hall Grand City berjam-jam menahan pegal dan kesal demi bersalaman beberapa detik dengan Bu Gubernur dan menikmati makanan lalu berselfie ria bagi yang tidak diajak foto bersama oleh shohibatul bait.

Wajar sajalah kota macet karena gubernur mantu, justru yang tidak wajar kalau ada gubernur mantu sepi-sepi saja tidak bikin heboh, cuma mengundang kerabat dekat dan tetangga 40 orang. Hal seperti itu tidak bakal terjadi di Indonesia sampai kapan pun. Hal itu cuma bisa terjadi nun jauh disana di Iran saat Presiden Ahmadinejad pada 2009 menikahkan anaknya Ali Reza dan hanya mengundang 40 orang saja dengan pesta sederhana sambil lesehan.

Peristiwa mantu adalah gabungan antara momen ritual agama dan momen budaya. Sudah jamak terjadi di negeri kita bahwa status sosial seseorang akan dicerminkan dari seberapa heboh dia menyelenggarakan pesta mantunya. Makin tinggi derajat sosialnya, makin heboh pestanya, dan makin macet jalanan di sekitarnya.

Rangkaian pesta pora bisa dihelat sampai tujuh hari tujuh malam tanpa berhenti, mulai dari dangdutan, wayangan, tandakan, sampai pengajian campur aduk jadi satu. Semakin heboh semakin gengsi naik.

Kira-kira di awal 1990-an Budayawan Umar Kayam almarhum menulis kritik tajam terhadap budaya mantu, utamanya di kalangan orang Jawa. Menurut Kayam, budaya adu gengsi ini menjadi salah satu penyebab merebaknya budaya korupsi di kalangan birokrasi. Kata Kayam, pegawai negeri, yang masuk dalam strata priyayi, dianggap sebagai kelas terhormat sehingga peristiwa mantunya harus heboh.

Budaya buwuh (memberi hadiah uang atau barang kepada penyelenggara hajatan) sudah menjadi bagian yang menyatu dengan prosesi resepsi pernikahan. Tetapi hampir pasti jumlah uang yang didapat dari buwuhan tidak cukup untuk menutup biaya resepsi pernikahan. Seringkali tuan rumah harus habis-habisan dan tekor besar setelah selesai mantu. Hal inilah yang oleh Kayam antara lain dianggap sebagai salah satu pemicu korupsi di birokrasi.

Di masa sekarang setelah ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) para pejabat tinggi tidak berani menerima buwuhan, tapi pejabat yang lebih rendah levelnya tetap menerima buwuhan.

Praktik buwuhan dan pesta resepsi pernikahan seperti ini dikritik keras oleh Mundzar Fahman dalam buku terbarunya "Menggugat Tradisi Resepsi Pernikahan dan Buwuhan" (Penerbit Nuntera, 2019). Menurut Mundzar banyak sekali hal yang harus diluruskan dalam tradisi Indonesia yang sudah ratusan tahun ini.

Mundzar terutama menyorot soal buwuhan yang seringkali terasa memberatkan bagi undangan meski besarannya hanya sekitar 100 sampai 200 ribu rupiah. Bagi kalangan yang mampu jumlah itu tidak merepotkan, tapi bagi masyarakat kebanyakan hal itu cukup memberatkan.

Beberapa waktu yang lalu muncul fenomena amplop kosong dalam buwuhan atau tamu gelap yang tidak diundang. Untuk mengantisipasi praktik ini tuan rumah mencatat dengan teliti siapa saja yang datang dan membawa buwuhan atau tidak. Jika ketahuan tidak membawa buwuhan sang tamu bisa-bisa tidak diberi jamuan konsumsi. "Praktik ini banyak terjadi di beberapa tempat," tulis Mundzar.

Ada tiga hal yang menjadi sorotan kritis Mundzar; praktik klenik penggunaan jasa dukun dalam menentukan hari pernikahan dan resepsi, pesta yang berlebihan cenderung mubazir, dan komersialisasi pesta pernikahan untuk mendapatkan keuntungan material.

Penggunaan hitung-hitungan klenik untuk menentukan waktu pernikahan adalah praktik yang banyak ditemui di pedesaan maupun di masyarakat perkotaan. Hal ini oleh Mundzar dianggap sebagai perusak akidah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Tentu ada pro dan kontra. Yang pro menganggap ini sebagai bagian dari budaya Jawa yang harus dilestarikan. Mereka yang kontra menganggap hal ini sebagai syirik menyekutukan Tuhan. Praktik demikian bisa menjadi distraksi terhadap modernisme.

Clifford Geertz dalam buku "The Religion of Java" (1976) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok; santri, priyayi, dan abangan. Santri adalah kelompok yang taat kepada syariat Islam, priyayi agak longgar dalam beragama, dan abangan adalah kelompok sinkretis yang mengamalkan praktik campuran antara Islam dan Hindu. Matoritas warga pedesaan di Jawa masuk kategori abangan. Praktik klenik dalam menentukan tanggal pernikahan sudah menjadi hal biasa di lingkungan abangan ini.

Pesta yang dibuat heboh dan cenderung mubazir juga dikritik keras oleh Mundzar. Lebih banyak madhorot daripada manfaatnya. Mundzar mengutip hadist dan Alquran yang mengecam kemubaziran sebagai kawan setan. Memang, Nabi Muhammad saw mencontohkan pelaksanaan resepsi pernikahan (walimat al ursy), tetapi cukup sederhana dengan menyembelih satu atau dua kambing dan mengundang tetanggga dan kerabat untuk makan bersama. Pesta yang berlebihan tidak diajarkan oleh Nabi saw.

Komersialisasi resepsi pernikahan juga jadi sorotan Mundzar. Ada kalangan yang mengharap untung dari pelaksanaan pesta pernikahan khususnya dari buwuhan. Karena itu seringkali terjadi makanan dan minuman yang disuguhkan kerap seadanya supaya ngirit dan dapat untung.

Buku Mundzar ini disusun sederhana dan mudah dipahami tanpa perlu berkernyit dahi, tapi kritik yang disampaikan Mundzar layak dijadikan bahan diskusi.

Mundzar menghabiskan karir produktifnya selama 25 tahun sebagai wartawan Jawa Pos. Setelah pensiun ia menjadi komisioner KPU Bojonegoro 2003 sampai 2014. Mundzar mendapatkan gelar doktor ilmu administrasi dari Untag Surabaya 2010. Sekarang Mundzar menjadi pengurus PCNU Bojonegoro dan ISNU (Ikatan Sarjana NU) Bojonegoro.[***

ikuti terus update berita rmoljatim di google news