Ketua FPKG: Waspadai Pihak-pihak yang Menuntut Penambahan Kuota Impor Raw Sugar

Ketua Forum Peduli Komoditas Gula (FPKG), Slamet Poerwadi/Ist
Ketua Forum Peduli Komoditas Gula (FPKG), Slamet Poerwadi/Ist

Ketua Forum Peduli Komoditas Gula (FPKG), Slamet Poerwadi mengingatkan publik untuk mewaspadai pihak-pihak yang menuntut penambahan kuota impor raw sugar untuk kepentingan perusahaan tertentu dengan dalih untuk kepentingan petani tebu dan UKM.


Bahwa persetujuan importasi untuk pemenuhan kekurangan Gula Kristal Putih (GKP) untuk memenuhi kekurangan kebutuhan konsumsi rumah tangga maupun untuk memenuhi kebutuhan Gula Kristal Rafinasi bagi industri makanan dan minuman serta farmasi, sudah melalui perhitungan dan survey cermat oleh pemerintah cq kementerian terkait.

"Tidak mungkin petani tebu meminta “impor raw sugar.” Petani dipastikan fokus untuk menjual tebunya. Demikian pula dengan UKM. Tidak semua UKM butuh gula rafinasi (GKR). Hanya UKM yang terdaftar yang membutuhkan gula rafinasi," kata Slamet melalui keterangan tertulis yang diterima Kantor Berita RMOLJatim, Senin (5/7).

Menurut Slamet, terkait dengan upaya swa sembada gula sebaiknya pemerintah dan pabrik gula fokus untuk menutupi defisit gula konsumsi rumah tangga (GKP), dimana rata-rata kebutuhan per tahummya antara 600 – 800 ribu Ton dari total kebutuhan GKP 3 Juta Ton per tahun.

Selanjutnya, masih menurut Slamet, bahwa pemenuhan kebutuhan GKR untuk industri mamin dan farmasi sudah firmed. Jadi tidak perlu mempersoalkan gula untuk kepentingan industri mamin yang pasokannya sudah tercukupi. Sehingga tidak mungkin defisit.

“Pembangunan pabrik baru gula rafinasi sejak seputar Th 2009 itu sudah diminta Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) untuk ditetapkan sebagai daftar negatif investasi. Jika ada pembangunan PG rafinasi baru harus dihitung secermat mugkin. Karena para petani kawatir akan kelebihan produk GKR yang berujung pada perembesan GKR pada pasar GKP. Sehingga dengan 11 pabrik GKR saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan insustri mamin," ungkapnya.

Menurut Doktor bidang ekonomi UII Yogyakarta itu, terkait dengan wacana swasembada gula, maka fokus diskusinya adalah pada dua hal utama yakni ekstensifikasi dan intensifikasi lahan. Bukan pada penambahan kuota impor raw sugar.

“Tidak logis jika wacana swasembada dikaitkan dengan penambahan kuota impor raw sugar. Mestinya perluasan lahan tebu diluar jawa (ekstensifikasi, mengingat makin langkanya lahan di Jawa dan mahal biaya eksploitasinya) dan intensifikasi terhadap lahan tebu yang sudah ada, sehingga produktifitas tebu per Ha maupun rendemennya meningkat (hablur per Ha sangat memberikan profit petani, di atas 7 Ton/Ha),” jelasnya.

Ia mengkritik narasi sejumlah pengamat dan politisi yang sibuk bicara importasi raw sugar, tapi mengabaikan soal ekstensifikasi dan intensifikasi lahan tebu.

Untuk menutup defisit GKP sekitar 600 – 800 ribu ton/ tahun tersebut, perlu perluasan sekitar 200 ribu hektar lahan tebu. Dimana saat ini lahan tebu yang masih produktif seluas 400 ribu hektar.

Luas lahan yang sudah ada saat ini bisa saja menyusut, ketika petani memutuskan untuk mengganti dengan tanaman palawija yang harga jualnya lebih tinggi.

Investasi pabrik gula baru berbasis tebu disamping diberikan stimulus importasi raw sugar selama waktu tertentu dan jumlah tertentu pada saat yang bersamaan diberikan kewajiban untuk memperluas lahan tebu.

Jumlah  stimulus akan menurun secara sistematis dan 5 tahun menjadi nol, sementara sebaliknya bahwa jumlah membangun lahan tebu makin bertambah. Lama waktu stimulus berbeda antara di Jawa dan di Luar Jawa. Hal ini telah diatur dengan sangat jelas dalam Permenperin. APTRI Jawa Timur mensinyalir mandatori itu tidak dilaksanakan secara serius.

Sebagaimana dirilis APTRI Jawa Timur, sejumlah pabrk gula membeli tebu petani, lalu di klaim sebagai tebu hasil panen sendiri. Tujuannya untuk mendapat stimulus kuota impor raw sugar.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news