Kopdes dan Potensi Makelar Proyek

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

SEJAK diterbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pengembangan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) beberapa waktu lalu, pemerintah pusat dan daerah begitu gencar dorong dirikan koperasi ini.  

Namun, melihat konsep dan cara pendirianya, Kopdes ini sudah salahi prinsip dasar koperasi. Bertolak belakang dengan kunci keberhasilan koperasi yang terjadi di seluruh dunia, salahi regulasi koperasi dan Kopdes ini pada akhirnya hanya akan jadi mainan para makelar proyek. 

Secara konseptual, Kopdes sebetulnya tidak layak disebut sebagai koperasi karena tidak tunjukkan ciri ciri sebagai koperasi sama sekali. Sebut misalnya motivasi pendirianya yang  berasal dari pemerintah secara atas bawah (top down), kehilangan otonomi dan kemandiriannya serta jauh dari sistem pengelolaan yang demokratis. 

Padahal, koperasi itu di berbagai belahan dunia sukses karena dikembangkan atas prakarsa masyarakat, dikembangkan secara mandiri dan dikelola secara demokratis sebagai ciri keunggulan koperasi. Pemerintah itu tugasnya ciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh berkembang koperasi yang sehat bukan dirikan koperasi atau peralat koperasi. 

Semua ciri atau syarat keberhasilan koperasi tidak ada sama sekali di dalam sistem Kopdes. Kopdes ini selain tidak menunjukkan karakter sebagai koperasi juga hanya bertujuan  jangka pendek atau abaikan syarat keberlanjutan. Penggunaan dana pemerintah yang dominan ini menjadi bentuk kooptasi dan rawan jadi mainan politik. Pelibatan pihak pihak yang tidak kompeten secara kelembagaan hanya akan merusak citra koperasi kedepannya. Sehingga Kopdes ini lebih layak ini disebut sebagai lembaga para makelar proyek ketimbang sebagai koperasi. 

Model organisasi makelar proyek yang atas namakan koperasi ini sudah sering terjadi di Indonesia. Dalam istilah lama disebut sebagai koperasi merpati. Koperasi jenis ini berdiri karena adanya stimulus pendanaan dari luar atau pemerintah. Didirikan ramai ramai hanya untuk sekedar menampung kucuran pendanaan dari pemerintah baik berupa bantuan langsung atau kredit program dari pemerintah. 

Pada masa Orde Baru, jenis yang sama, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) telah gagal. Koperasi ini ketika ditarik semua hak istimewa bisnisnya seperti pembelian gabah untuk pengadaan beras Bulog (Badan Umum Logistik) dan penyaluran pupuk langsung rontok. KUD turut rusak citra koperasi dengan anekdot sebut KUD sebagai singkatan Ketua Untung Duluan. 

Pada masa reformasi 1998, distimulasi kredit program Kredit Usaha Tani (KUT), orang ramai ramai dirikan koperasi pertanian (Koptan), dan jumlah koperasi dari 48 ribu naik drastis dalam satu tahun menjadi 92 ribu koperasi. Hampir 100 persen dari jumlah koperasi sebelumnya. Namun koperasi ini hanya menambah deretan panjang koperasi papan nama dan banyak menyeret pelakunya masuk ke penjara. 

Ciri lainnya, lembaga semacam ini biasanya tidak memiliki karakter entrepreneurship yang kuat dan dikembangkan dengan tata kelola dan sumber daya manusia asal asalan. Semua  itu karena inisiatifnya datang dari elite tanpa dasar konsep yang benar, yang dicarikan alasan pembenarnya agar seakan menjadi populis atau terkesan kerakyatan. 

Koperasi, sebagaimana banyak berkembang sukses di seluruh dunia itu dikembangkan oleh masyarakat sendiri karena koperasi dianggap sebagai sistem perusahaan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem perusahaan kapitalis. Didirikan dengan penuh kesadaran dari masyarakat untuk menjawab kebutuhan riil. Sementara Kopdes  dibangun atas kehendak pejabat pemerintah dan diberikan beban yang tidak realistis dan muluk muluk seperti hapus kemiskinan dan pengangguran. 

Kopdes MP ini dibangun dengan konsep yang salah karena dikembangkan dari atas sebagai alat pemerintah dan bahkan ditempel dengan birokrasi politik desa dengan diarahkan untuk dibentuk melalui mekanisme musyawarah desa (Musdes). Semua orkestrasi dimainkan untuk tujuan pengejaran keuntungan dari para makelar proyek. Mereka yang hanya ingin mendapat keuntungan dari aktivitas pendanaan proyek. 

Pengembangan Kopdes yang secara konsep berantakan ini menandakan masyarakat dan pejabat publik kita memang tidak banyak memahami apa itu koperasi yang sebenarnya. Ini artinya masalahnya sudah di level paradigma. Level pengetahuan pemahaman mendasar yang salah. 

Kita jadi pemilik jumlah koperasi terbanyak di dunia tapi rendah dalam kualitas. Ketika dunia sedang ramai ramai rayakan pengakuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan tetapkan tahun 2025 sebagai Tahun Koperasi Internasional (IYC) karena kekuatan demokrasi, otonomi dan kemandirian koperasi, pemerintah justru mencoreng muka sendiri dengan salahi pembentukan koperasi secara serampangan. 

Koperasi itu padahal lahir secara ekonomi politik karena didasari oleh latar belakang gagalnya sistem kapitalisme yang bertumpu pada korporasi kapitalis dan juga pada sistem negara yang gagal distribusikan kesejahteran. Alasan adanya (raison d'etre) koperasi itu padahal untuk kembangkan sistem ekonomi yang berkembang dan bertumbuh secara adil dengan tekankan pada partisipasi demokratis masyarakat secara inheren di dalam organisasinya,  bukan justru jadi alat pemerintah.

*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

ikuti terus update berita rmoljatim di google news