Isu radikal yang menjadi topik utama Presiden Joko Widodo saat memperkenalkan jajaran anggota Kabinet Indonesia Maju, dalam konteks politik ketatanegaraan sangat kontraproduktif.
- Bawaslu: Kalau Mau Tunda Pemilu Harus Ubah UUD
- Petani Tebu se-Jatim Deklarasi Dukung Ganjar 2024
- Menusuk Syekh Ali Jaber di Depan Umum Pasti Sudah Dipersiapkan Dengan Matang
Menurut Adhie, hal ini menimbulkan dua kerugian sekaligus. Pertama, para tetangga akan menilai orangtuanya tidak pandai mendidik anak. Kedua, menimbulkan kerusakan pada rumahnya.
Dalam kaitan isu radikal yang dihembuskan Presiden dan diresonansi secara masif oleh para anggota kabinet, niscaya menimbulkan kekhawatiran pihak dunia luar, karena mencerminkan ada ancaman keamanan serius di dalam negeri yang tidak bisa ditangani oleh pemerintahan Joko Widodo. Ancaman dari kelompok ekskrim yang sebaran pengaruhnya sudah menyeluruh.
Dan dampak paling merugikan tentu saja menimpa sektor ekonomi. Investor dari luar menjadi enggan berinvestasi. Sedangkan yang sudah terlanjur masuk, dan sebagian mulai ditarik keluar karena iklim pertumbuhan ekonomi nasional tidak kondusif untuk berbisnis.
"Isu masif ancaman radikalisme akan menambah keyakinan pebisnis lainnya untuk segera hengkang dari Indonesia," ujar Adhie di Jakarta, Selasa (29/10).
Paling terpukul oleh isu ini sudah pasti sektor pariwisata, yang justru sangat potensial mendulang devisa. Jelas Adhie, modal dasar pariwisata alam yang luar biasa akan sirna oleh situasi ancaman ketidakamanan yang pasti dipercaya dunia internasional karena "travel warning" itu disampaikan secara resmi oleh pemerintah Indonesia sendiri.
"Jadi, isu radikalisme bukan hanya ibarat menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri, lebih dari itu," sebut Adhie, yang juga merupakan Jubir era Presiden Gus Dur.
Ditambahkannya, bila di dunia internasional menimbulkan ketidakpercayaan, di dalam negeri isu radikalisme malahirkan sikap saling curiga. Bukan hanya antar-elemen masyarakat, tapi juga civil society dan pemerintah.
"Seperti yang disampaikan oleh tokoh nasional Dr. Rizal Ramli, yang curiga isu radikalisme ini dipakai untuk menutupi kegagalan pemerintah, terutama di sektor ekonomi," tuturnya.
Paling tertohok oleh isu radikalisme ini adalah ideologi negara, yakni Pancasila. Sebagian anggota masyarakat pasti akan mempertanyakan, ada apa dengan Pancasila sebagai ideologi negara-bangsa? Kenapa tidak berhasil mencegah lahirnya pikiran-pikiran lain (yang radikal) di negeri ini? Lalu apa kerja Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang sudah dibiayai APBN?
"Dari kajian ini, kita bisa menilai bahwa isu "radikal" ini dihembuskan politisi kelas lokal, yang tidak mempertimbangkan dampaknya secara nasional, apalagi global," demikian Adhie Massardi, dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL. [mkd]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Erick Thohir Diminta Segera Bersihkan BUMN Dari Orang Yang Islamphobia
- Hasil Survei Indikator: Erick Thohir dan Najwa Shihab Paling Cocok jadi Ketum PSSI
- Asal Tidak Membuat Internal PDIP Murka, Peluang Ganjar 2024 Masih Terbuka Lebar