Langkah tegas diserukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyerukan warganya agar melakukan social distancing, atau menjaga jarak sosial untuk mengerem penularan virus corona lebih lanjut.
- Jelang Nataru, Menkes Pastikan Pengawasan Prokes Diperketat
- Kasus Aktif Corona Tinggal 68.942 Orang, Jumlah yang Sembuh Bertambah di Atas 9 Ribu
- Pemkab Kediri Percepat Vaksinasi Massal Di Sekokah
Terlebih, banyak kasus penularan virus bernama resmi Covid-19 itu terdeteksi terjadi di Jakarta.
Seperti dikutip dari Kantor Berita RMOL, langkah itu diserukan bukan tanpa alasan. Reporter Grafis media The Washington Post Harry Stevens, akhir pekan kemarin membuat artikel menarik soal dampak dari social distancing pada penularan virus. Virus corona bukan hanya membuat waswas warga di Indonesia, tapi juga di lebih dari 100 negara dan wilayah di dunia saat ini.
Tidak terkecuali Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam sendiri, sejak kasus pertama infeksi virus corona dikonfrimasi, jumlahnya semakin meningkat dari hari ke hari. Jika dibuat kurva eksponensial, maka grafiknya akan menanjak. Para ahli menilai, jika jumlah kasus terus bertambah dua kali lipat setiap tiga hari, maka kemungkinan akan ada sekitar seratus juta kasus di Amerika Serikat pada bulan Mei mendatang.
Itu adalah hitungan secara matematis dan bukan ramalan. Namun, penyebaran bisa diperlambat jika sejumlah cara ditempuh, salah satunya adalah dengan melakukan social distancing atau menjaga jarak sosial dengan menghindari ruang publik. Namun, seberapa penting dampak dari social distancing?
Stevens dalam artikelnya di The Washington Post membuat simulasi menarik untuk menjelaskan seberapa efektif dampak dari social distanding dalam mengerem penularan penyakit. Dalam simulasi ini, Stevens membuat analogi di mana ada sebuah penyakit fiktif yang diberi nama "simulitis". Penyakit ini diasumsikan dapat menyebar lebih mudah daripada Covid-19.
Diasumsikan, setiap kali orang yang sehat berinteraksi dengan orang yang sakit simulitis, maka orang sehat itu akan tertular dan sakit. Hasilnya, dalam populasi yang terdiri dari hanya lima orang, maka tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk tertuar simulitis. Dalam kehidupan nyata, tentu saja, ada juga orang yang pada akhirnya akan pulih dari penyakit.
Orang yang pulih ini tidak dapat menularkan simulitis ke orang yang sangat sehat, atau menjadi sakit lagi setelah bersentuhan dengan orang yang sakit. Kembali lagi ke simulasi, jika simulitis diasumsikan menyebar ke sebuah kota berpenduduk 200 orang, dan rata-rata setiap orang di kota itu bergerak aktif, maka simulitis juga akan menular dengan cepat dari satu orang ke orang lainnya.
Orang baru yang terinfeksi juga akan dengan mudah menginfeksi orang sehat lainnya karena terus menerus bergerak. Itu baru simulasi di kota kecil kita-kira seukuran Whittier di Alaska. Lalu bagaimana cara mencegah penularan cepat penyakit semacam itu? Salah satu cara yang bisa ditiru adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah China pada Provinsi Hubei, tempat penyebaran awal virus corona. Pemerintah China segera melakukan karantina paksa atau lockdown setelah sejumlah kasus infeksi virus corona ditemukan di wilayah tersebut.
Namun, perlu digarisbawahi, lockdown sebuah kota atau wilayah tidak akan benar-benar efektif jika warganya masih aktif bergerak atau melakukan pengumpulan massa.
"Yang benar adalah jenis lockdown itu sangat jarang dan tidak pernah efektif," kata seorang profesor hukum kesehatan global di Georgetown University, Lawrence O. Gostin.
Untungnya, ada cara lain untuk memperlambat penyebaran penyakit, yakni dengan melakukan social distancing. Salah satu bentuknya adalah tinggal di rumah lebih sering dan menghindari perkumpulan massa.
"Jika banyak orang mengurangi mobilitasnya dan mengurangi interaksinya satu sama lain, maka virus memiliki lebih sedikit peluang untuk menyebar," tulis Stevens.
"Kami mengendalikan keinginan untuk berada di ruang publik dengan menutup ruang publik. Italia menutup semua restorannya. China menutup semuanya, dan sekarang kami juga menutup semuanya," kata peneliti kesehatan populasi dan asisten profesor di Sekolah Tinggi Kesehatan Masyarakat Thomas Jefferson University, Drew Harris.
"Mengurangi kesempatan untuk berkumpul membantu jarak sosial orang," tambahnya.
Namun perlu digarisbawahi, simulitis sendiri jelas bukan merupakan Covid-19. Penyakit fikstif ini dan simulasi-simulasi di atas hanya sekedar menyederhanakan kompleksitas kehidupan nyata. Namun simulasi di atas menunjukkan bagaimana suatu penyakit dapat dengan mudah menyebar jika social distancing tidak dilakukan sesegera mungkin.
"Perilaku satu orang dapat menyebabkan efek riak yang menyentuh orang yang jauh," tegas Stevens.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- MUI Tidak Berpatokan Uji Laboratorium Untuk Fatwa Haram Vaksin AstraZeneca
- Kasus Meninggal Hari Ini Tembus 1.040 Jiwa, Pasien Baru Covid Rekor Lagi
- Pemanfaatan Modalitas Diagnostik Meningkat, Prof Endarko Kembangkan Fantom