Untuk mewujudkan tujuan negara hukum di Indonesia, tidak semua masalah hukum harus diselesaikan secara litigasi (peradilan) melainkan bisa juga melalui non litigasi, yakni melalui perdamaian melalui mediasi atau arbitrase.
- Keluarga Tragedi Kanjuruhan Asal Jombang Percayakan Keadilan Pada Hakim PN Surabaya
- Dua Pengendara di Wonokromo Surabaya Diringkus, Kedapatan Bawa 17 Butir Pil Koplo
- Puluhan Emak-Emak di Jember Tertipu Investasi Bodong hingga Rp1 Miliar
Hal ini mengandung arti bahwa setiap sengketa, konflik atau perkara hendaknya diselesaikan melalui prosedur perundingan atau perdamaian di antara pihak yang bersengketa untuk memperoleh kesepakatan bersama,"kata Anandyo Susetyo dikutip Kantor Berita saat menjadi nara sumber diacara diskusi hukum yang diadakan Islamic Lawyer Forum dengan tema 'Quo Vadis Negara Hukum Indonesia Antara Harapan Dan Kenyataan' di Hotel Namira Syariah Surabaya, Minggu (10/2)
Advokat Anandyo Susetyo pria yang akrab disapa Anton ini mengatakan, Semula mediasi di pengadilan cenderung bersifat fakultatif atau sukarela (voluntary), tetapi kini mengarah pada sifat imperative atau memaksa (compulsory). Mediasi di pengadilan merupakan hasil pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan perdamaian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg.
"Mengharuskan hakim yang menyidangkan suatu perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian diantara para pihak yang berperkara,"jelasnya.
Mediasi bukan hanya dikenal dalam perkara perdata, tapi juga dikenal pada perkara pidana yang disebut Penal.
"Namun masih minim sekali digunakan untuk dalam hukum pidana untuk saat ini,"kata Anton.
Bahwa Mediasi Penal atau Penyelesaian Perkara Pidana di luar Pengadilan, masih kata Anton, ini selaras dengan perkembangan baru dalam penegakkan hukum di Indonesia, dimana tidak selalu seorang pelaku harus diproses, diadili dan dihukum melalui konsep peradilan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution).
"Konteks ini dapat diartikan sebagai cara atau langkah bangsa Indonesia untuk mewujudkan tercapainya tujuan hidup berbangsa dan bernegara, senantiasa merupakan suatu kesatuan dengan sila-sila yang lain, dan pula dilandasi adanya filosofi nilai religius, nilai kekeluargaan dan nilai keselarasan sebagaimana sila pertama, kedua dan ketiga dari Pancasila,"terangnya.
Dijelaskan Anton, Prinsip dasar restorative justice melalui mediasi penal menemukan pijakannya dalam nilai Pancasila yang menjunjung nilai keseimbangan dan kemaslahatan baik terhadap pelaku kejahatan maupun korban.
"Ironis sekali setiap tindak pidana harus berujung dipenjara sehingga daya tampung rutan dan lapas menjadi penuh (over capacity), padahal efektifitas pidana penjara belum tentu memberikan efek jera (detterent effect) dan cenderung memberikan stigma sosial baik dari sisi mantan terpidana saat keluar dari penjara maupun ketika kembali bersosialisasi ke masyarakat,"jelasnya.
Untuk diketahui, Diskusi hukum ini juga menghadirkan sejumlah akademisi sebagai nara sumber, diantaranya, Prof Suparto Wijoyo, Pakar Hukum Unair Surabaya, Ketua LBH Pelita Umat ,Ahmad Khozinuddin dan Ketua LBH Pelita Umat Jatim, Satya Widarma.
Selain itu juga dihadiri sejumlah lembaga dakwah dan sejumlah tam'ir masjid yang ada di Jawa Timur.[bdp]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Penetapan PN Surabaya Soal Pemecahan SHM Dipermasalahkan, Pembeli Tanah Lapor Polisi
- Polres Probolinggo Berhasil Ringkus Komplotan Pembakaran Mobil
- Dilaporkan ke Polres Gresik, Pelaku Pencabulan Anak Tiri di Desa Slempit Kedamaian Masih Berkeliaran