Wacana pemberlakuan hukuman mati untuk koruptor mejadi polemik di tengah masyarakat. Pasalnya dalam UU Tipikor, yang ada hanya hukuman mati untuk korupsi bantuan bencana alam dan korupsi saat krisis ekonomi.
- Masa Tenang, Golkar Surabaya Serukan Kader Jadi Teladan Semangat Demokrasi yang Bersih
- Pasokan Listrik Bisa Terganggu Jika Tak Ada Ketegasan pada DMO Batubara
- Rp 500 Triliun Anggaran Habis untuk Rapat, Achsanul Qosasi: Pengentasan Kemiskinan dan Bansos Berbeda
Namun praktisi hukum, Hadi Mulyo Utomo menolak wacana pemberlakuan hukuman mati untuk kasus korupsi. Alasannya, hal itu akan menumbuhkan potensi problematika modus korupsi baru, bila penegak hukum belum bersih. Jadi wacana itu masih sangat prematur untuk ditindaklanjuti.
"Pasal hukuman mati bisa jadi instrumen pemerasan bagi tersangka atau terdakwa oleh oknum penegak hukum. Kecuali aparat penegak hukum sudah bisa dipastikan bersih," tutur Hadi, Jumat (13/12).
Lulusan terbaik dan cumlaude S2 Fakultas Hukum Unair ini mengungkapkan, sebaiknya pemerintah membenahi sistem pengawasan eksternal terhadap lembaga penegak hukum. Baik itu hakim, jaksa, polisi dan advokat.
Karena itu, Hadi berharap pemerintah tidak terburu-buru memberlakukan aturan hukuman mati untuk kasus korupsi, sampai instrumen penunjangnya siap. Hadi mencontohkan banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap oknum penegak hukum.
"Ibaratnya, menyapu lantai kotor tidak bisa dilakukan dengan sapu yang kotor. Karena itu, harus dipastikan sapunya bersih dulu. Baru digunakan menyapu lantai," urai Wakil Ketua PW Pencak Silat NU (PSNU) Pagar Nusa Jatim ini.
Penasehat hukum Khofifah Indar Parawansa ini mengutip pendapat hukum Lord Acton yang berbunyi powed tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Artinya, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak.
Karena itu kekuasaan penegak hukum harus dibatasi, caranya dengan memperketat pengawasan. Hadi juga mendorong Presiden menambah power terhadap lembaga pengawasan eksternal, seperti Kompolnas, Komjak, dan KY.
"Presiden sebaiknya menambah power terhadap Komjak, KY, maupun Kompolnas. Dengan begitu penegak hukum akan berpikir dua kali bila ingin melakukan penyelewengan kekuasaan," tandas mantan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Prabowo-Gibran Diminta Lanjutkan Pembangunan Era Jokowi di Papua
- Pilpres 2024 "Lapangan Datar", Anies Diingatkan Jangan Salah Pilih Cawapres
- Dituding sebagai Penerus Orba, Panglima TNI: Tunjukkan Mana Impunitas yang Diterima Prajurit Kalau Salah