Penolakan Mahkamah Agung (MA) atas kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan merupakan pelajaran bagi Presiden Joko Widodo agar tidak sembarangan membuat kebijakan.
- Gus Fawait Resmi Terima Dokumen B-KWK PAN, Siap Bawa Jember Lebih Sejahtera
- Mencoblos di TPS 19, Khofifah Ajak Warga Jatim Gunakan Hak Pilih Di Pilkada Serentak 2024
- Rencana Pemerintah Prabowo-Gibran Naikkan Tunjangan Guru Dapat Apresiasi DPRD Jatim
Hal ini disampaikan peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (10/3).
Menurut Bhima, kenaikan iuran BPJS Kesehatan memang tidak tepat dilakukan oleh pemerintah. Ini lantaran daya beli masyarakat sedang sulit.
"Memang harusnya kenaikan iuran BPJS (Kesehatan) tidak dilakukan di saat daya beli masyarakat sedang tertekan," ucapnya.
Dengan adanya penolakan dari MA tersebut kata Bhima, Presiden Jokowi diharapkan untuk tidak lagi sembarangan mengeluarkan kebijakan. Apalagi kebijakan yang mencekik rakyat sehingga mendatangkan gelombang penolakan.
"Ini jadi isyarat bahwa pemerintah kalau mau buat kebijakan hati-hati. Jangan blunder ke ekonomi yang sedang kena corona," tegasnya.
Bhima menambahkan, Presiden Jokowi harus mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan defisit BPJS Kesehatan tanpa membebani rakyat Indonesia.
Caranya, kata Bhima, Presiden Jokowi harus membenahi data Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang hingga saat ini belum sinkron.
"Di sisi yang lain perlu dicari jalan keluar terkait masalah defisit BPJS (Kesehatan) tanpa membebani peserta. Kan soal kepatuhan pembayaran masih rendah, kemudian data PBI yang belum sinkron. Itu dulu yang dioptimalkan sebelum mau naikan iuran," pungkasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Roy Suryo Minta KPK Tiru Pengusutan Mario Dandy Pada Kasus Kaesang
- Reformasi Birokrasi Kunci Entaskan Kemiskinan Ekstrem
- Ikut Campur Urusan Lukas Enembe, Dave Laksono Semprot Benny Wenda