- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki
- Dari Akal Imitasi Menuju Kesadaran Buatan
FRANCO Berardi yang akrab disapa 'Bifo' merupakan salah satu sosok penting dari organisasi Potere Operaio di Italia. Bersama dengan Antonio Negri, Mario Tronti dan Paolo Virno, mereka membentuk organisasi itu pada tahun 1969. Setahun usai peristiwa Aksi Mahasiswa Mei 1968 di Prancis yang sohor sejagat. Bifo masih berusia 20 tahun saat organisasi berhaluan Kiri radikal itu dibentuk, namun ia punya semangat luar biasa beraktivitas dalam organisasi.
Dalam mengembangkan pemahaman otonomis, meski Bifo berpandangan Marxis, namun pengembangan teorinya justru mengadopsi psikoanalisa, skizofrenia dan teori komunikasi. Bagi Bifo, krisis kapitalisme tak bisa dijelaskan semata dari disiplin ekonomi biasa, melainkan harus menukik pada jantung kapitalisme yang penuh kontradiksi. Penyelesaian krisis bukan dengan cara memberi perhatian utama pada buruh, melainkan harus melihat dimensi emosi, kognisi dan komunikasi yang melandasi proses produksi.
Fase pemikiran Bifo kemudian lebih banyak mengupas fenomena buruh atau pekerja di era pasca industrial. Baginya, ada dua hal penting dalam era itu terkait perjuangan para buruh. Pertama, cognitive labour, yakni kerja kognitif. Segenap kerja yang dilakukan para buruh tak lepas dari kerja kognitif ini, namun definisi sosial dari kerja kognitif ini menyangkut tubuh, hasrat, fisik yang gampang rusak, cepat lelah serta mudah mengalami ketaksadaran. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman cognitariat (kognitariat), yaitu kesadaran pada kecerdasan kolektif untuk menghadapi berbagai persoalan dalam hajat hidup.
Masalahnya, dalam era pasca industrial juga ditandai dengan kemenangan pasar. Lazim disebut neoliberal. Semua tersedia di pasar dan ketersediaan apapun di pasar itu sanggup menggoda, merayu, meninabobokan bahkan mengalihkan perhatian para buruh dari kewajiban utamanya, yakni meraih kebutuhan hidup lebih baik. Reproduksi kapitalisme, ujar Bifo, merupakan dampak dari kehendak politik kolektif. Itu terjadi bukan cuma di negara-negara maju, tapi di negara berkembang pun sedang berlangsung.
Wajah kapitalisme abad 21 sudah jauh berbeda dibanding kapitalisme abad 20. Sebab, kapitalisme kini menukik ke kegiatan sosial yang sangat mempengaruhi aktivitas intelektual. Contoh nyata dan gampang bisa dilihat adalah pada pembuatan regulasi yang belum tentu berpihak pada kebutuhan masyarakat luas. Elit kaya berkuasa plus berjejaring ke dalam birokrasi sanggup mempengaruhi hasil proses regulasi. Sehingga aktivitas intelektual di balik regulasi itu menjadi sekadar pelengkap. Kebutuhan pasar adalah kebutuhan elit, bukan pemenuhan kebutuhan orang banyak.
Dua peristiwa gerakan massa yang bergaung sejagat pada 2011, yaitu Occupy movement dan Arab Spring ternyata belum mampu menggulingkan kapitalisme yang bercokol di gedung-gedung tinggi di New York, Tokyo atau London. Ujungnya, terjadi fragmentasi dalam gerakan massa itu yang menghalangi terciptanya solidaritas sosial di internal mereka yang langgeng. Sebaliknya, korporasi kapitalis secara cepat memperkuat kembali regulasi finansialnya terhadap proses produksi. Pelan namun pasti gerakan massa itu pun punah.
Pada kurun berikutnya, isu dunia sudah bukan lagi tertuju pada dominasi korporasi, sebab isu-isu seperti rasisme, nasionalisme, fasisme dan dinamika politik yang dominan. Peluang telah sirna, yang kini hadir adalah zaman kacau. Bifo menegaskan, untuk itulah buku terbarunya ini disuguhkan. Isinya, diagnosa Bifo terhadap situasi zaman ini. Diagnosa itu ditulis dari tahun 2010 sampai tahun 2023. Diantara diagnosanya berkaitan pada lemahnya posisi para pekerja berhadapan lawan korporasi yang mempunyai jaringan kuat ke birokrasi. Para pekerja kesulitan membangun kesadaran kolektif melawan hegemoni korporasi.
Untuk mengalihkan ketakberdayaannya, para pekerja kemudian bergeser ke suasana yang melenakan. Seperti plesir, wisata, kecanduan main //game// dan berbagai kegiatan lain. Bagi mereka, mengikuti sistem korporasi tak perlu mempertanyakannya merupakan cara terbaik untuk bertahan hidup di lingkungan kerja. Janji-janji kesejahteraan di awal bekerja rasanya hanya tinggal janji, sulit terwujud. Apalagi jika korporasi kemudian mengeluarkan kebijakan yang tabu dipertanyakan, jangan ditentang. Kecerdasan kolektif para pekerja mendadak lumpuh. Tak berdaya menghadapi suasana itu.
Terlebih lagi, zaman kini adalah zaman Akal Imitasi (AI). Pengendali korporasi lebih suka memakai AI daripada akal para pekerja untuk menyelesaikan beragam pekerjaan. Panik melanda para pekerja. Mereka khawatir di-PHK mendadak tanpa pesangon. Alasannya, korporasi harus menjalankan efisiensi demi bisa bertahan hidup. Keberlangsungan korporasi lebih penting daripada menjaga hubungan antara korporasi dengan pekerja. Selain itu, saat korporasi memakai AI, pengendali korporasi cenderung memakai tekno-linguistik, bahasa teknologi yang belum tentu dikuasai para pekerja. Makin paniklah para pekerja.
Ala kulli hal, diagnosa Bifo tentang kekacauan zaman ini sebenarnya bukan hal baru bagi rakyat Indonesia. Sebab, pada abad ke-12, Jayabaya pernah meramalkan datangnya zaman kepanikan. Zaman Kalabendu, kekacauan dimana-mana. Jika kita lihat, pengendali korporasi lebih percaya kelihaian algoritma daripada keterampilan pekerja. Perhatian utama adalah pada kegiatan sesaat ketimbang berkegiatan untuk jangka panjang. Aturan menjadi permainan di tangan mereka yang berkuasa. Benar-benar zaman kacau.
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki
- Dari Akal Imitasi Menuju Kesadaran Buatan