PERTARUNGAN merebutkan kursi pimpinan tertinggi di daerah melalui Pilkada 2020 di Jawa Timur bakal diikuti 19 kabupaten dan kota. Diantara belasan daerah tersebut dipastikan akan menarik disimak dari kehadiran sang petarung baik dari kendaraan partai politik atau sebaliknya jalur perseorangan/independen.
Sayangnya dari berbagai pengamatan oleh lembaga riset kemenangan dari jalur independen masih minim belum menunjukan gregetnya. Bisa saja beberapa penyebab yang melatarbelakangi diantaranya kurangnya basis massa, minusnya pendanaan dan ketidakmampuan membaca peta politik secara umum di suatu daerah.
Hal ini bisa diakibatkan dari beberapa faktor, seperti kurangnya basis massa, kesiapan dalam berkompetisi, serta minimnya pendanaan.
Tapi jangan pesimis dulu, sang kandidat independen menjadi satu alternatif pilihan bagi konstituennya. Karena mempunyai satu keistimewaan tersendiri dibanding dengan kehadiran si petarung dari partai politik.
Kandidat independen, jelas tidak tersandera atau masuk kedalam urusan politik tertentu dan bisa terukur dari prestasi sesuai track recordnya. Jalur independen merupakan satu amanah dari UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dirubah menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008. Dimana, dalam Pilkada rakyat boleh memilih atau menentukan atau sebaliknya rakyat dipersilahkan berebut kursi tanpa kendaraan partai politik.
Tidak dipungkiri lagi dari pernyataan di atas jalur independen merupakan jawaban masyarakat yang mungkin melihat kader partai tidak bisa menunjukan kinerja yang memuaskan. Memang hal ini sifatnya sangat subyektif tergantung penilaian dari arah yang mana. Ditambah juga dari beberapa peristiwa di negeri ini seringkali oknum pejabat yang notabene berangkat dari partai politik terlibat kasus korupsi.
Bisa diasumsikan akan menambah keraguan masyarakat itu sendiri. Sehingga jalur independen bisa menjawab semua persoalan yang diragukan pemilih/rakyat bukan hanya semata sebagai jalan alternatif politik.
Bagaimana peluangnya dari jalur independen?
Bila melihat statistik dari lembaga riset Skala Survei Indonesia (SSI) tentang Pilkada serentak 2015, terlihat bagaimana perjalanan independen sedikit megap-megap dalam kontestasi politik lima tahunan tersebut. Jujur saja, penantang jalur independen belum menunjukan ketajaman bermanuver politik merebutkan kursi kepala daerah.
Seperti dalam satu narasinya, penelitian yang dilakukan SSI di 32 propinsi yang menggelar Pilkada serentak pada 2015. Diketahui, SSI memperlihatkan jumlah kandidat dari jalur independen yang maju dalam Pilkada 2015 sebanyak 35 persen. Dari keseluruhan jumlah tersebut 77,8 persen berada di wilayah yang memiliki jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di bawah 500 ribu. Sementara 22,2 persen berada di wilayah dengan jumlah pemilih di atas 500 ribu.
Selanjutnya SSI juga menjelaskan bahwa, dari jumlah calon independen yang maju itu hanya 14 persen yang mampu meraih kemenangan, sedangkan sisanya sebanyak 85,6 persen kandidat mengalami kekalahan.
Hasil ini menggambarkan keseluruhan kandidat yang bertarung di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Secara geografis, tingkat kemenangan kandidat independen dari Jawa lebih rendah daripada luar Jawa. Tingkat kemenangan calon independen di luar Jawa sebesar 15,3 persen sedangkan di Jawa hanya 11,1 persen.
Bila melihat data di atas terlihat jelas bagaimana mayoritas calon independen masih mengalami kesulitan dalam kontestasi ini. Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan dari data yang dirilis oleh SSI tersebut. Pertama mengenai bagaimana sulitnya kandidat dari jalur ini menang di wilayah yang DPT nya di atas 500 ribu orang.
Hal mengindikasikan calon independen faktanya memang masih kekurangan basis massa pendukung terutama di wilayah-wilayah dengan demografi penduduk yang padat dan topografi luas. Itu dikuatkan dengan fakta bahwa kemenangan calon independen di tingkat provinsi saat pilkada serentak 2015 adalah nol persen, meskipun memang hanya ada di dua propinsi. Bagi kandidat dari partai politik, hal itu tentu tak berlaku.
Artinya mereka yang diusung oleh parpol tentu akan memanfaatkan basis massa partai yang menjalar hingga akar rumput. Minimnya pendanaan juga jadi alasan lain, mengingat hingga Pilkada serentak 2017 ditengarai masih marak terjadinya politik uang (money politics) di dalam kontestasi politik di daerah.
Didik Purwanto
Wartawan
ikuti terus update berita rmoljatim di google news