FENOMENA media sosial (medsos) melahirkan selebriti medsos. Orang yang enggak ketahuan juntrungnya tiba-tiba saja menjadi terkenal karena alasan-alasan yang enggak jelas. Maka lahirlah para selebritas dadakan yang kaya raya karena akun medsosnya diikuti jutaan orang.
- Politisi PDIP Sebut Puan Maharani Terbuka untuk Bertemu AHY Bahas Kerjasama Politik
- KIM Sepakati Pokja Konten Kampanye Prabowo, Angkat Empat Isu Krusial
- Peluang Gibran Cawapres Prabowo ada Di Tangan Ketum Parpol Koalisi
Memang medsos bisa menjadi alat komunikasi politik yang efektif. Tak terhitung banyaknya politisi dunia yang memanfaatkan medsos untuk saluran komunikasi politiknya. Salah satu yang paling fenomenal adalah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang selalu memakai medsos Twitter untuk berkomunikasi politik. Setiap saat Si Donald akan memakai Twitter untuk menyampaikan gagasan politiknya yang sering nyleneh dan kontroversial.
Si Donald juga rajin ngevlog bicara melalui video untuk mengomentari even atau menyampaikan pandangan politiknya. Radio dan televisi pun dibuat absolute oleh pola komunikasi politik ala medsos yang serba cepat dan instan. Pidato kenegaraan State of Union yang dulu ditunggu-tunggu sekarang jadi enggak menarik lagi.
Zaman dulu pidato politik para presiden ditunggu-tunggui di depan radio oleh khalayak karena disiarkan live lewat radio. Di Indonesia rakyat berjubelan di depan radio mendengarkan pidato Bung Karno yang menggelegar penuh gelora membakar semangat. Lapar lupa, susah jadi lupa, melarat jadi lupa kalau sudah mendengar orasi Bung Karno. Rakyat yang lapar bisa mendadak kenyang setelah dengar pidato Si Bung.
Enggak gampang untuk bisa jadi orator sekelas Bung Karno karena butuh keahlian retorika, logika, harus paham psikologi massa, dan harus kaya referensi. Kita tahu bagaimana kualitas para founding fathers kita yang benar-benar kelas dewa. Referensinya dahsyat mengutip pandangan intelektual-intelektual hebat dunia mulai dari Marx, Adam Smith, Montesqueu, Renan, dan lain-lain. Para politisi pendiri bangsa itu menguasai filsafat politik dan paham betul teori-teori politik dari berbagai pakar.
Bung karno, Hatta, Sjahrir, HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Tan Malaka, just to name a few, adalah politisi cum intelektual yang menguasai filsafat dan teori-teori politik. Karena itulah maka argumen mereka menjadi berbobot, debat mereka cerdas dan menarik, logika mereka jernih.
Harus kita ingat mereka itu bukanlah orang-orang tua. Mereka adalah anak-anak muda yang sekarang masuk dalam kategori politisi milenial. Mereka masih berusia awal 20-an atau 30 tahunan tapi kematangan dan kedewasaan mereka sungguh mengagumkan. Itulah era emas politik Indonesia. Lima belas tahun pertama Indonesia merdeka adalah zaman keemasan yang melahirkan politisi-politisi emas yang tak bakal terlupakan sepanjang sejarah.
Merek matang karena kaya akan referensi. Buku-buku referensi pasti sulit didapat saat itu krn hanya dicetak di Eropa. Tapi buktinya para politisi itu semuanya punya referensi buku-buku babon politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, dan lain-lain.
Zaman berganti. Kata Marshal McLuhan the media is extension of man, media itu kepanjangan manusia, media itu seperti mirror atau pengilon bagi manusia dan zamannya, apa yang terjadi pada manusia akan tercermin pada medianya.
Lahirlah era televisi. Media berubah, manusia berubah, politisi dan politik pun berubah. Tidak ada lagi politisi orator ulung karena televisi tidak mungkin mengutip pidato panjang lebar, yang dibutuhkan adalah sound bite pernyataan pendek yang menggigit. Politisi tidak lagi mengutip referensi-referensi yang njelimet, mereka belajar memberi pernyataan impromptu yang pendek padat dan tidak merayap. Wawancara radio yang indepth diganti dengan wawancara doorstop dengan statemen 10 detik saja.
Lanskap politik berubah. Politisi cum ilmuwan enggak punya panggung lagi, muncullah politisi charming, ganteng, camera face dan pintar memberi pernyataan pendek yang quotable, gampang dan enak dikutip. Bintang paling di era TV 1970an adalah John F Kennedy, ganteng, kaya, pintar ngomong. Dia jadi presiden mengalahkan Nixon yang tongkrongannya enggak menarik blas.
Nasib bangsa Amerika Serikat akhirnya membawa merek punya presiden sejenis Donald Trump, presiden era medsos, presiden era post truth pasca kebenaran. Anda enggak perlu ngomong mengenai kebenaran, yang diperlukan adalah ngomong segala hal yg ingin didengar khalayak, yang sesuai dengan emosi khalayak, bahkan kalau itu adalah kebohongan sah-sah saja karena kebohongan sudah tidak ada lagi diganti pasca-kebenaran alias post thruth.
Si Donald jagoan post truth, ia menang karena jago memainkan emosi khalayak. Ia bicara soal imigran gelap yg merampok pekerjaan orang Amerika asli, ia bicara soal penjajahan ekonomi China, ia bicara soal ancaman Islam, ia bicara apa saja untuk membuat rakyat Amerika Serikat gemetar ketakutan dan kemudian memilih dia. Semua ancaman itu ilusi kata musuh-musuh Si Donald tapi rakyat percaya, buktinya dia menang. Itu bukan bohong, itulah post truth.
Di Indonesia sama saja. Sekarang adalah era politik medsos dan post truth. Enggak ada lagi politisi cum intelektual. Yang ada adalah politisi scare-mongering dan war-mongering yang kerjaannya nakut-nakuti rakyat dengan menciptakan genderuwo-genderuwo yang gak jelas, ada genderuwo komunis PKI, ada genderuwo China, ada genderuwo Islam militan, ada genderuwo khilafah, dan masih banyak lagi berjenis-jenis genderuwo, you name it.
Jangan harap ada politisi cum cendekiawan seperti zaman dulu yang kaya referensi dan menguasai filsafat dan logika. Yang ada sekarang adalah politisi pokrol bambu, politisi kusir dokar yang otot lehernya kuat karena jago ngeyel meskipun argumennya zonk alias kosong.
Di era keberlimpahan informasi spt sekarang para poltisi malah miskin referensi. Berbekal info dari media online terus ditambah browsing dikit dari 'kiai' gugel jadilah mereka berdebat di TV spt kusir andong. Benarlah kata Blaudilaard, tsunami informasi enggak bikin orang makin pinter malah tambah oon, mereka menjadi al-ruwaibidhah si bodoh yang mengatasnamakan umat.
Para politisi karbitan memakai twiter, vlog dan sejenisnya untuk mencuitkan suaranya. Seringkali cuitan harus dibikin kontroversial supaya jadi heboh. Tujuannya macam-macam mulai caper sampai cari sensasi atau sekadar supaya nambah follower.
Era politik citra sudah melangkah jauh menjadi era pasca kebenaran.
Anak-anak kemarin sore yang tidak ketahuan asal usulnya tiba-tiba jadi selebritas politik medsos trus jadi jago debat di televisi, tema apapun dia lahap mulai dari politik, ekonomi, sampai agama enggak ada matinya. Merek tahu sekarang era post truth, bohong tidak dosa malah wajib. Ngomong apa saja boleh yang penting nambah follower.
Orang-orang kayak gini ini sekarang nyaleg, nyabub, nyagub, nyapres...duh! [***
Dhimam Abror DjuraidWartawan Senior/Mantan Pemred Jawa Pos
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Jokowi Dianggap Gagal Jaga Etika Saat Berkuasa, Berbeda dengan Mantan Presiden Lain
- Cara Prabowo Sambangi Ulama Dianggap Tidak Efektif
- PPKM Darurat Belum Maksimal, Penyebabnya Informasi Data Kurang Jelas