- Hikayat Celeng
- Survei Terbaru, Suara Anies Baswedan Melonjak Berkat Kerja Relawan
- Kreasi Porno di Video Kebaya Merah
LITERASI adalah titik mula segala proses kebudayaan, keilmuan, dan keberadaban. Namun, ketika literasi direduksi sekadar sebagai kemampuan mengenali huruf dan merangkainya menjadi kata, lalu berhenti pada aspek mekanik membaca dan menulis, maka kehancuran epistemik telah dimulai.
Literasi bukan sekadar perangkat komunikasi, melainkan instrumen berpikir. Literasi bukan sekadar aktivitas teknis, melainkan proses kognitif dan afektif yang melibatkan struktur makna, orientasi nilai, serta relasi antara pengetahuan dan kekuasaan.
Di tengah era ledakan informasi dan digitalisasi yang masif, literasi menjadi semakin kompleks. Ia tidak cukup hanya didekati dari satu dimensi sempit. Sebab itu, pembangunan ekosistem literasi nasional tidak bisa dilakukan secara parsial dan seremonial, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka struktural yang sistematis, visioner, dan berjangka panjang.
Ekosistem literasi adalah bangunan sosial yang menyeluruh, melibatkan negara, masyarakat, lembaga pendidikan, media, dan teknologi, dengan fondasi yang berbasis pada penghargaan terhadap pengetahuan dan kebenaran.
Di permukaan, tampak seolah literasi telah menyebar luas. Namun sesungguhnya, yang terjadi justru adalah banalitas literasi. Proses membaca dan menulis dipenuhi dengan konten-konten instan, dangkal, dan manipulatif. Pemahaman terhadap teks sering kali berhenti pada permukaan, tidak menembus struktur naratif atau ideologis di baliknya.
Di sinilah krisis epistemik mengakar: masyarakat mampu mengakses informasi, tetapi tidak memiliki kerangka konseptual untuk memaknainya secara kritis.
Pseudo-literasi adalah kondisi di mana masyarakat secara formal terlihat aktif secara literasi, tetapi sesungguhnya terjebak dalam ruang-ruang repetitif yang tidak transformatif. Informasi dikonsumsi tanpa filtrasi, tanpa tafsir, dan tanpa pemisahan antara fakta dan opini. Maka literasi berubah menjadi sekadar ritual harian tanpa daya kritis. Ini menciptakan generasi yang tidak mampu membedakan antara kebenaran dan konstruksi kekuasaan, antara argumen dan propaganda.
Negara dan Ambivalensi Kebijakan Literasi
Negara memegang peran sentral dalam pembangunan ekosistem literasi, tetapi sering kali justru menjadi sumber dari ketidakteraturan kebijakan. Banyak program yang hanya bersifat kosmetik, bersandar pada indikator kuantitatif semata, tanpa menyentuh akar struktural dari rendahnya budaya literasi. Orientasi kebijakan yang pragmatis dan jangka pendek melahirkan inisiatif-inisiatif tambal sulam yang tidak terhubung dalam satu sistem nasional yang konsisten.
Ketika kebijakan literasi lebih didorong oleh kepentingan politis dan simbolik ketimbang kebutuhan kognitif masyarakat, maka lahirlah tumpang tindih program, inkonsistensi pelaksanaan, dan lemahnya evaluasi.
Literasi yang seharusnya menjadi prioritas nasional, justru tercecer di antara proyek-proyek sektoral yang tidak pernah membentuk sinergi. Negara cenderung absen dalam menjamin akses terhadap sumber bacaan yang berkualitas, membangun lingkungan literasi publik, dan memperkuat posisi profesi literasi seperti pustakawan, penulis, dan editor.
Literasi Sebagai Proyek Peradaban, Bukan Sekadar Program
Ekosistem literasi nasional menuntut perubahan paradigma. Literasi harus diletakkan dalam kerangka pembangunan peradaban, bukan sekadar proyek kultural atau agenda kementerian. Artinya, literasi harus menjadi bagian dari visi nasional tentang manusia ideal yang akan dibentuk: manusia kritis, etis, dan produktif. Literasi harus menjadi basis dari pendidikan, hukum, ekonomi, bahkan politik.
Selama literasi dipahami sebagai alat bantu dalam sektor-sektor teknokratis, bukan sebagai fondasi berpikir dan berperilaku, maka kebijakan literasi tidak akan pernah menjadi prioritas. Literasi tidak boleh didekati dengan cara transaksional. Ia harus menjadi instrumen ideologis untuk membangun watak bangsa yang mandiri secara kognitif dan bermartabat secara etis.
Dengan demikian, pembangunan ekosistem literasi nasional harus melibatkan reorientasi visi kebudayaan nasional itu sendiri. Bangsa tanpa kebudayaan literasi akan rapuh, mudah digiring, dan takluk pada retorika kekuasaan.
Peran Lembaga Pendidikan dan Krisis Kurikulum
Salah satu pilar utama ekosistem literasi adalah lembaga pendidikan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa institusi pendidikan masih terlalu fokus pada target administratif dan evaluasi mekanistik. Kurikulum cenderung kering dari semangat dialogis dan kritis. Aktivitas membaca dan menulis sering kali dibebani dengan formalitas, bukan kesadaran akan makna dan kebebasan berpikir.
Krisis kurikulum adalah krisis dalam mendefinisikan manusia. Jika kurikulum tidak menyasar pembentukan kesadaran kritis, maka lembaga pendidikan hanya akan melahirkan individu yang tunduk, bukan merdeka. Literasi yang ditekankan dalam ruang kelas hanyalah literasi permukaan—membaca untuk ujian, menulis untuk tugas, bukan sebagai praktik berpikir yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Untuk membangun ekosistem literasi, pendidikan harus dibebaskan dari model transmisi satu arah. Pendidikan harus menjadi ruang dialog, eksperimentasi gagasan, dan penumbuhan hasrat untuk memahami dunia. Tanpa itu, literasi hanya akan menjadi aktivitas administratif yang membosankan.
Masyarakat Literat dan Kemandirian Nalar
Ekosistem literasi tidak akan tercipta hanya dari atas. Ia juga harus bertumbuh dari bawah—dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat literat adalah masyarakat yang mampu mempertanyakan realitas, membedakan antara kebenaran dan kepentingan, serta berani mengambil posisi dalam percakapan publik secara etis dan rasional.
Namun ini hanya akan tercapai jika masyarakat diberikan ruang, akses, dan insentif untuk tumbuh dalam lingkungan literat. Ketimpangan akses terhadap pengetahuan, minimnya ruang publik untuk berdiskusi, dan dominasi budaya instan menjadi penghalang serius. Literasi tidak akan bertumbuh dalam iklim yang anti-kritik, anti-berpikir, dan penuh sensor.
Oleh karena itu, literasi harus menjadi gerakan budaya yang hidup dalam keluarga, komunitas, tempat kerja, dan ruang sosial. Literasi bukan sekadar tanggung jawab institusi pendidikan, tetapi tugas bersama untuk membentuk masyarakat yang sadar, reflektif, dan visioner.
Media, Kapitalisme Informasi, dan Dekolonisasi Nalar
Peran media dalam ekosistem literasi adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, media menyediakan akses terhadap informasi dan opini. Di sisi lain, media juga menjadi instrumen produksi wacana yang didikte oleh kepentingan kapital dan politik. Dalam konteks ini, literasi menjadi medan pertempuran antara kebebasan berpikir dan penjinakan nalar.
Kapitalisme informasi tidak mendidik publik untuk berpikir, tetapi hanya mendorong mereka menjadi konsumen konten. Algoritma digital lebih memprioritaskan apa yang sensasional daripada yang substansial. Maka dalam ekosistem ini, literasi harus diperjuangkan sebagai bentuk perlawanan terhadap reduksi kebenaran menjadi komoditas.
Dekolonisasi nalar menjadi penting agar masyarakat tidak terus-menerus menjadi korban dari imperialisme kognitif. Literasi yang berakar pada identitas kultural, nilai-nilai kebangsaan, dan kesadaran sejarah menjadi kunci untuk membebaskan diri dari hegemoni narasi tunggal.
Ekonomi Pengetahuan dan Politik Literasi
Literasi tidak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi pengetahuan. Dalam dunia yang bergerak menuju industri berbasis informasi dan inovasi, literasi menjadi prasyarat utama daya saing bangsa. Namun ketika literasi tidak diperhitungkan dalam kerangka pembangunan ekonomi, maka bangsa hanya akan menjadi pengguna, bukan pencipta.
Politik literasi harus dibangun atas kesadaran bahwa kemampuan berpikir adalah sumber daya strategis. Negara harus menjamin bahwa setiap warga memiliki hak atas akses pengetahuan yang setara. Ini menyangkut pembiayaan buku, penguatan perpustakaan, kebijakan distribusi karya intelektual, dan dukungan terhadap profesi literasi.
Jika politik literasi terus dikesampingkan, maka bangsa akan terus menjadi buruh dalam sistem ekonomi global yang didominasi oleh bangsa-bangsa yang lebih literat. Literasi adalah bentuk kedaulatan—kognitif, budaya, dan ekonomi.
Menuju Paradigma Literasi Emansipatoris
Membangun ekosistem literasi nasional bukan sekadar tugas institusional, tetapi agenda kebangsaan. Literasi harus dijadikan instrumen pembebasan, bukan hanya alat kontrol sosial. Ia harus bersifat emansipatoris—membebaskan manusia dari kebodohan, penindasan, dan manipulasi.
Literasi tidak boleh dilihat sebagai tambahan dari pembangunan, tetapi sebagai intinya. Tanpa masyarakat literat, demokrasi menjadi kosong, pembangunan menjadi timpang, dan keadilan menjadi ilusi. Ekosistem literasi nasional harus dibangun dengan dasar keberanian untuk berpikir, kejujuran untuk mengakui kelemahan struktural, dan kesungguhan untuk merancang perubahan.
Inilah saatnya bangsa ini meninggalkan budaya simbolik, dan mulai membangun bangsa berpikir. Sebab hanya bangsa yang berpikir yang dapat menentukan arah sejarahnya sendiri.
*Khairul A. El Maliky, pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Retakan di Barat: Mengapa Amerika Mulai Berbalik Mendukung Palestina dan Mengkritik Israel?
- PSI, Jokowi, dan Jalan Baru Politik Dinasti
- Menolak Lupa Atas Hilangnya Munir