Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah pandemik Covid-19, dianggap membingungkan masyarakat.
- Sekedar Hore-hore Politik, Polemik JIS Tidak Downgrade Capres Tertentu
- Golkar Jatim Bekali Anggota Fraksi dengan Strategi Dongkrak Ekonomi Daerah Lewat Bimtek
- Forum Masyarakat Bersama Laporkan Kembali Dugaan Money Politik Paslon Nomor Urut 3 Bonus
Pakar komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Suko Widodo mengakui bahwa PSBB yang diterapkan pemerintah lebih mirip karantina wilayah.
Banyak daerah yang mestinya tidak masuk kategori PSBB, para kenyataannya malah melakukan praktik karantina wilayah.
“Dalam hal ini negara memerintah rakyat. Aparat diterjunkan ke rakyat. Sementara di sisi lain negara meminta rakyat bergotong royong. Kalau negara mau gotong royong, ya jangan malu minta bantuan ke rakyat,” terang Suko Widodo pada Kantor Berita RMOLJatim, Senin (4/5).
Dijelaskan Suko, penerapan PSBB mirip lockdown ini bakal menjadi petaka sebab emosi warga bisa meledak.
“Emosi warga bisa meledak. PSBB pating pecocot (kacau). Ini bahaya. Penerapan PSBB ini bisa membingungkan pengambilan kebijakan daerah. Banyak kebijakan yang “ragu tahu”. Tak berpayung regulasi tapi aparat menerapkannya seperti membatasi arus transportasi dan aktivitas sosial,” jelas Suko.
Menurut Suko, saat ini kasus Covid-19 di Surabaya meningkat. Banyak rumah sakit yang tidak mampu menampung pasien Covid-19.
“RS sudah penuh sesak. Pasien tidak tertangani dengan baik. Di saat bersamaan, aparat pemerintah memiliki keterbatasan menghadapi peningkatan orang terpapar,” ujarnya.
Karena itu Suko mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan jalan tengah tapi harus terbuka.
“Usul saya pemerintah harus melibatkan publik. Tak salahnya pemerintah meminta bantuan rakyat. Mengajak bergotong royong menangani masalah ini. Maunya pemerintah bagaimana, lalu kekuatan atas kebijakan sampai di mana. Ketentuannya kan jika mengkarantina karena darurat maka salah satunya pemerintah harus menyediakan sumber daya. Itu bisa diambil dari APBN, APBN dan masyarakat.”
Jika melihat peningkatan penyebaran orang terpapar, kata Suko, maka mestinya pemerintah bisa mengundang para pihak (pebisnis, LSM, tokoh lokaldan lain-lain) untuk membantu merumuskan solusi.
Selama PSBB berlangsung, Suko memang melihat penerapannya masih sepihak. Artinya narasi gotong royong yang dibangun pemerintah tidak jalan. Sehingga kesannya ada pemaksaan pada rakyat.
“Pemantauan, edukasi dan supervisi masih terbatas dilakukan aparat pemerintah, TNI dan Polri (yang tergabung dalam gugus tugas). Sedangkan jumlah mereka tidak cukup. Karena itu jika pemerintah ingin menghentikan penyebaran Covid-19 sesuai protokol PSBB, maka harus melibatkan masyarakat juga,” imbuhnya.
Lanjut Suko, pemerintah bisa melibatkan petugas Posyandu atau Bumantik, atau mempersiapkan relawan terlatih yang terkoordinir.
“Petugas Posyandu bisa dilibatkan. Tokoh masyarakat juga. Bentuk relawan terlatih. Semua sudah terkoordinir. Jika ada yang terpapar, tidak semua orang harus dibawa ke rumah sakit dengan daya tampung terbatas. Mereka bisa melakukan isolasi mandiri di rumah dengan dipantau masyarakat,” tandasnya.
Terakhir Suko menambahkan, intinya kebijakan yang diambil pemerintah seperti PSBB, jangan sampai membuat masyarakat bingung.
“Jika harus bertahan di rumah, dan karena gak bisa memenuhi kebutuhan hidup maka solusinya seperti apa. Masyarakat perlu panduan, perlu jaminan hidup dan perlu dijaga mentalitasnya juga,” tutupnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Tiga Capres Tampil dengan Performa Terbaik, Skor Jeblok untuk KPU
- Kebanjiran Kunjungan Elite Politik, Hensat: Gibran Sosok Istimewa
- Pemerintah Harus Siapkan Penjara Khusus Bagi Jutaan Warga Penolak Vaksin Covid-19