- Malapraktik Penegakan Hukum Pilkada
- Seharusnya Biaya Minyak Mentah untuk BBM Bisa 500 Perak Seliter
- Setelah Dicoba Soimah
Republik adalah janji suci bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun di era pemerintahan Joko Widodo, janji itu kian pudar.
Simbol kerakyatan yang dulu dielu-elukan kini tampak hanya sebagai selubung dari manuver kekuasaan yang makin menjauh dari prinsip demokrasi sejati. Ketika kekuasaan tak lagi dikontrol oleh etika dan hukum, maka republik bisa saja tetap berdiri, namun jiwanya telah mati.
Republik dalam Cengkeraman Elite
Di tangan Jokowi, Indonesia mengalami transformasi politik yang pelik. Ia datang sebagai sosok populis, menjanjikan perubahan, tetapi dalam dua periode pemerintahannya justru memperlihatkan kecenderungan konsolidasi kekuasaan, pembajakan institusi negara, dan penyuburan oligarki. Apa yang tersisa dari republik ini jika rakyatnya hanya diberi hak memilih tanpa daya menentukan?
Simbol Populis yang Menipu Publik
Jokowi adalah simbol populisme kontemporer: sederhana, merakyat, dan anti-elit. Namun kesederhanaan itu, dalam kacamata ilmu politik, bukanlah jaminan integritas kebijakan. Ketika populisme tidak dibarengi dengan kerangka kelembagaan yang sehat, maka ia mudah menjelma menjadi alat penguasaan.
Blusukan, selfie dengan rakyat, memakai baju kerja buruh, semuanya adalah strategi komunikasi politik yang sukses meninabobokan rakyat. Tapi di balik layar, kebijakan-kebijakan penting justru menunjukkan arah berbeda. Pembangunan infrastruktur masif dilakukan, tetapi berbasis utang luar negeri dan melayani kepentingan investor besar, bukan kebutuhan rakyat kecil.
Institusi Dikooptasi, Demokrasi Dirusak
Salah satu titik kritis republik di bawah Jokowi adalah pelemahan sistem checks and balances. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 menjadi titik balik.
KPK yang sebelumnya merupakan simbol pemberantasan korupsi kini menjadi lembaga yang tumpul dan penuh kompromi politik. Jokowi memilih diam, bahkan ketika gelombang mahasiswa menuntut pembatalan revisi itu.
Kemudian datang peristiwa yang lebih mencengangkan: Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang seharusnya menjaga konstitusi, malah menjadi alat manipulasi hukum demi memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka—putra Jokowi—menjadi calon wakil presiden. Perubahan tafsir batas usia capres-cawapres yang dilakukan MK adalah bentuk nyata kooptasi yudikatif untuk kepentingan dinasti politik.
Dinasti Politik Wajah Baru Otoritarianisme
Jokowi tidak datang dari trah politik, tetapi ia membentuknya. Setelah dua periode berkuasa, ia menanam benih dinasti yang kini mulai tumbuh: Gibran sebagai cawapres, Kaesang Pangarep sebagai ketua umum partai, dan berbagai relasi kekuasaan yang dipelihara lewat loyalitas dan politik balas budi.
Fenomena ini bukan sekadar masalah moral, tetapi membahayakan struktur demokrasi yang berbasis meritokrasi. Dinasti politik mengerdilkan kompetisi sehat dan mempersempit ruang partisipasi rakyat dalam menentukan arah bangsa. Republik yang sehat seharusnya membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun, bukan diwariskan seperti kerajaan.
Oligarki, Tuan Sebenarnya di Balik Kekuasaan
Sejumlah kajian dari kalangan akademisi, seperti Jeffrey Winters dan Vedi Hadiz, menegaskan bahwa Indonesia mengalami pergeseran dari demokrasi elektoral ke oligarki neoliberal. Dalam konteks Jokowi, hal ini terlihat jelas: proyek-proyek infrastruktur dikuasai oleh segelintir taipan, kebijakan agraria berpihak pada korporasi, dan undang-undang yang lahir seperti Omnibus Law justru menindas buruh dan rakyat kecil.
Presiden menjadi lebih mirip CEO negara daripada kepala negara rakyat. Keputusan-keputusan strategis tak lagi berdasarkan aspirasi publik, melainkan lobi-lobi kamar gelap antara elite bisnis dan elite politik. Di titik ini, republik berubah wajah: dari representasi rakyat menjadi properti segelintir konglomerat.
Netralitas Aparat dan Matinya Oposisi
Dalam sistem demokrasi, militer dan kepolisian seharusnya bersikap netral dan tunduk pada hukum. Namun di era Jokowi, netralitas itu dikaburkan. Penempatan jenderal-jenderal aktif di jabatan sipil, keterlibatan aparat dalam urusan politik, hingga penangkapan aktivis dengan dalih keamanan nasional adalah tanda-tanda bahwa kekuasaan mulai alergi terhadap kritik.
Sementara itu, oposisi dilumpuhkan lewat kooptasi politik: partai oposisi dirangkul ke dalam kabinet, kritikus dilabeli radikal, dan mahasiswa dicurigai sebagai pengacau. Ruang demokrasi dipersempit, bukan dengan peluru, tetapi dengan narasi dan undang-undang yang direkayasa.
Manipulasi Konstitusi dan Politik Tanpa Etika
Ketika batas usia capres direvisi secara ugal-ugalan hanya untuk membuka jalan bagi keluarga presiden, maka konstitusi bukan lagi kitab suci negara, melainkan alat kekuasaan. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus Gibran menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa menginjak etika demi syahwat politik.
Etika publik, yang seharusnya menjadi pagar moral dalam demokrasi, runtuh oleh kepentingan pragmatis. Keteladanan yang diharapkan dari seorang presiden berubah menjadi cermin buruk bagi generasi muda: bahwa hukum bisa diatur, bahwa kekuasaan bisa diwariskan, dan bahwa kecurangan bisa dibungkus kata-kata "demi bangsa".
Wajah Baru Neo-Orde Baru
Apa yang kita saksikan saat ini bukanlah sekadar penyimpangan, tapi transformasi sistematis menuju rezim baru yang disebut banyak pengamat sebagai Neo-Orde Baru. Model kekuasaan ini memadukan populisme, militerisme, dan oligarki dalam satu paket pemerintahan yang efisien secara politik, tapi korosif secara demokratis.
Berbeda dengan Soeharto yang memakai represi terang-terangan, Jokowi menjalankannya dengan pendekatan lembut: menggunakan hukum, media, dan lembaga negara sebagai alat dominasi. Demokrasi memang masih ada di atas kertas, tetapi esensinya telah direduksi menjadi ritual lima tahunan tanpa substansi.
Harapan yang Dikhianati
Mungkin inilah ironi terbesar: rakyat yang dahulu menaruh harapan besar pada sosok Jokowi, kini merasa dikhianati. Mereka yang dulu berdiri di belakangnya kini berbalik mempertanyakan niat dan integritasnya. Aktivis yang dahulu bersorak untuk Jokowi kini turun ke jalan menuntut perbaikan demokrasi.
Tapi apakah semuanya sudah terlambat? Belum tentu. Sejarah selalu memberi ruang bagi koreksi. Namun koreksi tidak akan datang dari elite politik, melainkan dari keberanian rakyat untuk menyuarakan kebenaran.
Menyelamatkan Republik dari Tangan Kekuasaan
Republik bukanlah sekadar bentuk pemerintahan, melainkan sebuah prinsip hidup bernegara: kedaulatan rakyat, hukum yang adil, dan partisipasi setara. Ketika prinsip itu dilanggar secara sistematis, maka republik sejatinya sudah dikebiri.
Pemerintahan Jokowi telah menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa menjelma menjadi alat akumulasi kuasa keluarga dan oligarki, bukan untuk kemaslahatan rakyat. Tugas kita kini bukan sekadar menyesali, tetapi mengorganisir kembali kesadaran kolektif: bahwa republik ini bukan milik satu keluarga, bukan milik konglomerat, tetapi milik kita semua.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Jokowi, 3 Periode yang Kandas dan Ijazah yang Membakar Demokrasi
- Evolusi Kecanggihan Menyontek di Era Digital
- Kredibilitas UGM Hancur Dalam Sekejap Mata