Retak Sebelum Pilpres

APAKAH Calon Presiden (Capres) nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dapat ‘tidur pulas’ terkait urusan pengamanan suara Pilpres 2019 di wilayah Indonesia bagian Timur? Sebab urusan menang di sana sudah diserahkan ke wakilnya Jusuf Kalla (JK). Tidak juga.


Hal ini seperti mengingatkan pernyataan JK pada 2014 sebelum digandeng Jokowi. Dalam sebuah video wawancara JK mengungkapkan pentingnya faktor rekam jejak dan pengalaman, ketimbang umur seseorang untuk dijadikan sebagai calon presiden.

Saat itu JK berkomentar soal Jokowi yang digadang-gadang menjadi presiden karena popularitasnya yang tinggi. "Siapa bilang Jokowi tidak punya pengalaman. Dia kan gubernur DKI, pengalamannya lewat Wali Kota Solo. Tapi jangan tiba-tiba karena dia terkenal di Jakarta, tiba-tiba dicalonkan presiden, bisa hancur negeri ini, bisa masalah negeri, tapi kalau sukses di DKI, ya silakan,” kata JK dalam video yang tidak diketahui kapan diambil.

Kritik JK bisa saja merupakan flashback dari pernyataannya empat tahun silam dan sekaligus menunjukkan ke publik bahwa pernyataannya (saat itu) soal Jokowi tidak main-main, dan terbukti saat ini. Tahulah sendiri bagaimana rekam jejak JK. Ia termasuk tipe pemimpin yang dominan.

Di era SBY, JK berubah menjadi bayang-bayang sang presiden. Bahkan sempat dijuluki The Real President”. Muncullah istilah, "Matahari Kembar”. Tapi setelah empat tahun bersanding Jokowi, JK justru dibuat tak berkutik. Mungkin itu juga yang membuat JK harus melontarkan kritik kepada bosnya.

Pertama, JK secara terang-terangan mengkritik pembangunan Light Rail Transit (LRT) Palembang tidak efisien. Begitu juga, ia mengkritik LRT Jabodetabek dengan jalur layang (elevated). Bahkan infrastruktur tersebut memakan biaya sangat mahal mencapai Rp500 juta perkilometer. Padahal, proyek yang dikerjakan BUMN PT Adhi Karya itu merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, juga dicanangkan langsung pembangunannya oleh Jokowi pada 2015.

Barangkali JK mengkritik karena tak dilibatkan dalam membuat keputusan terkait pembangunan infrastruktur LRT. Sehingga ingin mengesankan ke publik bahwa ia tidak cawi-cawi dalam urusan proyek strategis yang disebut banyak pihak mengutang dari luar negeri.
 
Belakangan, jurus JK digunakan Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto untuk mendegradasi pemerintahan Jokowi dalam deklarasi dukungan Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (APTSI) di TMII, Jakarta, Sabtu (26/1) lalu.

Kedua, saat sejumlah kelompok mengatasnamakan alumni Universitas Indonesia (UI) mendukung Jokowi pada 12 Januari 2019 lalu, JK tidak begitu antusias dan malah menanggapinya dengan dingin. Bahkan menurutnya, tidak perlu ada embel-embel kampus untuk mendukung Paslon. Namun JK tidak bersuara saat dukungan APTSI mengalir ke Prabowo.

Ketiga, JK berseberangan dengan Jokowi soal kebencanaan dimasukkan ke dalam kurikukum sekolah. JK berpandangan pemerintah tidak sampai harus membuat kurikulum khusus soal bencana guna membuat masyarakat lebih siap menghadapi bencana. Sementara Jokowi ingin kurikulum bencana diterapkan.

Keempat, JK tidak butuh pahlawan super Avengers saat berbicara di Sidang Umum ke-73 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS). Menurut JK, setiap anggota PBB merupakan bagian dari kekuatan kolektif yang harus bersatu di bawah naungan PBB untuk menghadapi isu-isu global. Pernyataan JK tentu tidak sejalan dengan Jokowi yang menyampaikan dunia butuh kekuatan seperti Avengers untuk menghadapi tantangan global, khususnya di bidang ekonomi. Pernyataan itu disampaikan Jokowi dalam World Economic Forum on ASEAN pada 12 September 2018 di Hanoi, Vietnam.

Kelima
, peredaran tabloid Indonesia Barokah membuat kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Sandiaga dan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, saling tuding soal siapa dalang di balik tabloid tersebut. Jokowi sendiri berkomentar belum membaca. Tapi JK langsung mengambil keputusan dan menginstruksikan pengurus masjid untuk membakar tabloid Indonesia Barokah sekalipun tabloid tersebut menguntungkan kubu Jokowi, mengingat kontennya bersifat merusak demokrasi. Tentu, JK berbicara sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Yang dilakukan JK (kritik pemerintahannya sendiri) bukan sekedar perbedaan pendapat biasa, seperti yang disebut Jokowi dalam debat Capres pertama. Perbedaan ini sangat substansial. Sebab terkait dengan kebijakan publik, dan hajat hidup orang banyak.

Kasus impor beras telah membuka mata kita semua. Betapa tidak komprehensifnya pemerintahan Jokowi dalam menangani kebijakan impor beras. Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberi izin kepada Perum Bulog untuk mendatangkan sisa jatah impor beras 1 juta ton hingga akhir September 2018. Sehingga total izin yang didapatkan adalah sebesar 2 juta ton.

Sementara Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso bersikeras bahwa impor beras saat ini belum diperlukan, karena stok beras dalam negeri masih cukup. Belum lagi data antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan kementerian lain yang berbeda soal beras.

Kesan yang ditangkap publik, pemerintahan Jokowi-JK retak. Muncul perpecahan. Tidak harmonis. Tidak sejalan. Tidak se-visi dan se-misi lagi. Atau parahnya, tidak bisa mengurus negara.

Pesan yang hendak disampaikan JK, sebagaimana kita tahu bahwa ia merupakan seorang pebisnis. Sudah barang tentu pikiran bisnisnya jauh lebih dominan dibanding kepentingan politik. Mana yang menguntungkan, mana yang tidak.

Dalam hal kritik mengkritik, JK tidak lagi sebagai wakil presiden, mengingat jabatannya akan habis setelah dilantik presiden baru atau presiden dua periode. Justru momentum Pilpres 2019 inilah yang dimanfaatkan JK untuk bermain di dua kaki, jika perlu.

Bisa saja JK baru sadar bahwa elektabilitas lawan Jokowi semakin hari semakin menguat. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, mengungkap hasil survei internal Badan Pemenangan Nasional (BPN) selisih antara Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma’ruf tak lebih dari 11 persen.

JK melihat, calon petahana yang hanya terpaut selisih sedikit dengan lawannya, posisinya sangat tidak menguntungkan. Artinya peluang Jokowi fifty-fifty. Bisa menang, bisa kalah. Sementara JK menyadari di tim Prabowo-Sandi banyak orang terdekatnya, seperti mantan Menteri ESDM Sudirman Said, mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sehingga tidak ada alasan bagi JK untuk mengabaikan peluang ini.

Bagi pebisnis sekaligus politisi sekelas JK, untung dan rugi pasti ada. Dan, JK sudah berhitung.[****

Penulis adalah wartawan. Artikel ini dikirim untuk Kantor Berita

 

ikuti terus update berita rmoljatim di google news